Ragam
Kapan Nikah? Nggak Perlu Baper, Ini Cara Elegan Hadapi Pertanyaan Sensitif
Ditanya Kapan nikah?, tak perlu panik atau baper. Yuk jawab dengan elegan. Karena hidup bukan lomba, dan setiap orang punya waktunya sendiri.
Vania Rossa

Dewiku.com - Lebaran, reuni, arisan keluarga, dan acara kumpul-kumpul apapun, kadang datang dengan satu pertanyaan yang rasanya sudah tak asing lagi: Kapan nikah?
Buat sebagian orang, ini mungkin terdengar sepele. Tapi buat yang ditanya, bisa bikin perasaan jadi tak nyaman, kikuk, bahkan sedih. Padahal, pertanyaan ini sering kali datang tanpa niat buruk. Sayangnya, niat baik belum tentu cocok dengan timing dan kondisi seseorang.
Baca Juga
CEO Muda Perempuan: Lebih dari Sekadar Tren, Ini Realitas Baru Dunia Bisnis
Keharuman Nostalgia Lebaran, 'Mencicipi' Aroma Nastar dari Sebotol Parfum
Ketika Secuil Perhatian Berujung Sakit Hati, Kenali Tanda-Tanda Breadcrumbing yang Merugikan Perempuan
Simping Era: Kenapa Sekarang Banyak Perempuan Bangga Jadi Fangirl?
Apakah Perempuan Masa Kini Terlalu Terobsesi Punya Kulit Glowing?
Mengapa Banyak Perempuan Mengalami Penurunan Aktivitas Sosial saat Memasuki Usia 40-an?
Jadi, bagaimana cara menghadapi pertanyaan ini tanpa baper, tanpa marah, dan tetap elegan? Yuk, simak cara cerdas menghadapi pertanyaan sensitif ini.
Muncul Karena Rasa Peduli
Iya, begitulah kata Psikolog klinis Anna Surti Ariani, M.Psi., bahwa pertanyaan 'Kapan nikah?' sebenarnya muncu karena adanya perasaan peduli. Anna menjelaskan bahwa dalam budaya masyarakat Indonesia yang kolektif, pernikahan masih dianggap sebagai pencapaian penting dalam hidup.
Dan pertanyaan sensitive ini muncul karena rasa peduli atau sekadar basa-basi.
“Pertanyaan itu biasanya muncul karena rasa peduli atau ingin tahu, bukan niat untuk menyakiti. Namun, penting bagi individu untuk punya cara merespons agar tetap merasa nyaman,” ujarnya.
Maka dari itu, perempuan perlu memiliki cara yang cerdas dan sopan untuk menanggapi pertanyaan tersebut tanpa harus merasa terbebani.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memberikan jawaban yang ringan namun tetap tegas.
Misalnya, dengan mengatakan, “Doain ya, semoga segera dipertemukan yang terbaik,” atau, “Masih menikmati hidup dulu, nanti juga ada waktunya.”
Lebih dari sekadar jawaban, penting bagi perempuan untuk meyakini bahwa setiap orang memiliki waktunya masing-masing. Tidak semua orang ingin atau harus menikah di usia tertentu.
Dr. Aisyah Dahlan, seorang ahli neuroscience dan parenting, menegaskan bahwa tekanan sosial terhadap perempuan untuk segera menikah dapat memengaruhi kesehatan mental.
“Perempuan perlu punya keyakinan bahwa hidup bukan perlombaan. Tekanan untuk menikah bisa menyebabkan kecemasan, padahal setiap orang punya takdir dan waktunya sendiri,” tuturnya.
Keyakinan inilah yang akan membantu perempuan tetap kuat dan tenang saat menghadapi ekspektasi sosial yang tidak selalu relevan dengan prioritas hidupnya.
Tak kalah penting, perempuan juga bisa saling mendukung satu sama lain. Jika melihat teman atau saudara yang mendapat pertanyaan serupa, menunjukkan empati atau membantu mengalihkan pembicaraan bisa menjadi bentuk solidaritas yang sederhana namun berarti.
Pada akhirnya, pertanyaan seperti “Kapan nikah?” mungkin akan selalu hadir dalam acara kumpul apa pun.
Namun, perempuan memiliki kendali untuk memilih bagaimana meresponsnya dengan cerdas dan berkelas. Menjaga batasan pribadi bukan berarti tidak sopan, melainkan bentuk penghargaan terhadap diri sendiri.
Karena sejatinya, kebahagiaan tidak ditentukan oleh status pernikahan, melainkan oleh bagaimana seseorang mencintai dan menghargai dirinya sendiri.
(Imelda Rosalina)