Perempuan Perantau Penakluk Mimpi: Tantangan dan Stigma yang Mereka Hadapi

Perempuan perantau tak hanya menantang stereotip, tetapi juga membuktikan bahwa mereka mampu menghadapi kerasnya hidup di tanah asing.

By: Risna Halidi icon Jumat, 15 November 2024 icon 15:58 WIB
Perempuan Perantau Penakluk Mimpi: Tantangan dan Stigma yang Mereka Hadapi

Ilustrasi perempuan perantau (Freepik)

Larangan bagi perempuan untuk merantau telah lama menjadi bagian dari budaya tradisional. Perempuan, sering dianggap lebih sesuai tinggal di rumah dan mengurus keluarga, sementara laki-laki diharapkan merantau untuk mencari nafkah.

Meski pandangan ini tak lagi sekuat dulu, kini semakin banyak perempuan yang berani merantau. Mereka tak hanya menantang stereotip, tetapi juga membuktikan bahwa mereka mampu menghadapi kerasnya hidup di tanah asing.

Ilustrasi perempuan membawa tas kulit (Unsplash/Gabrielle Henderson)
Ilustrasi perempuan di rantau (Unsplash/Gabrielle Henderson)

Perempuan-perempuan ini coba mencari peluang, mengembangkan karier, dan mengejar pendidikan yang mungkin sulit mereka dapatkan jika tetap tinggal di kampung halaman.

Baca Juga: Darurat Perkawinan Anak di Irak, Bocah Perempuan 9 Tahun Terancam Dipaksa Nikah

Menurut Wiwi Siti Sajaroh, Ketua Pusat Studi Gender & Anak (PSGA) UIN Jakarta, budaya merantau yang identik dengan laki-laki didasari oleh budaya patriarki. Laki-laki dianggap bertanggung jawab dalam hal ekonomi dan keluarga.

Oleh karena itu, jika di tempat asalnya mereka tidak dapat memperoleh penghasilan yang memadai, mereka akan berusaha mencari nafkah di luar daerah.

"Dari tanggung jawab inilah mengakar anggapan bahwa lelaki merantau adalah kewajiban, sedangkan kalo perempuan sebagai penerima nafkah dianggap tidak perlu meranatu selagi suaminya ada. Jadi memang bingkainya adalah patriarki," ungkapnya saat ditemui Dewiku pada Rabu (13/11/2024).

Baca Juga: Patriarki Si Biang Keladi Femisida: Saat Ruang Publik Tak Lagi Aman Bagi Perempuan

Anggapan ini sejalan dengan pendapat Sosiolog UI, Ida Ruwaida, yang mengatakan bahwa di masa lalu, merantau memang lebih lekat pada laki-laki yang dianggap lebih kuat, berani, dan nekat, serta dipandang wajar merantau karena nantinya akan menjadi pencari nafkah utama dan kepala keluarga.

"Namun, kecenderungan tersebut kini mengalami pergeseran karena merantau tidak hanya dilekatkan pada laki-laki, tetapi juga pada perempuan. Salah satu alasan yang menonjol adalah merantau untuk menyejahterakan keluarga, misalnya dengan menjadi pekerja migran," ungkap Ida Ruwaida.

Kata Ida, dulu ruang gerak perempuan terbatas. Mereka hanya boleh bertemu dengan kerabat dan harus didampingi laki-laki saat keluar rumah.

Kini, pembatasan itu terasa semakin hilang dan masyarakat semakin menerima perempuan yang merantau, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi serta meningkatnya kesadaran perempuan akan hak-haknya.

Stigma jadi Tantangan untuk Perempuan Perantau

Lulu, seorang perempuan berdarah Minang mengaku kepada Dewiku telah merantau ke Jakarta untuk mengejar pendidikan dan karier selama 10 tahun terakhir ini.

Datang dari Kota Padang, Sumatera Barat, perempuan berusia 28 tahun ini mengaku merantau ke Jakarta berkat izin keluarga. Izin itu ia dapat karena hampir seluruh anggota keluarganya juga pernah merantau.

"Pepatah ‘pantang pulang kampung sebelum berhasil’ itu melekat erat di keluarga aku, kalo sudah memutuskan untuk merantau mereka dituntut untuk sukses," kata lulu kepada Dewiku.

Meski demikian, Wiwi Siti Sajaroh mengatakan penting bagi keluarga memberikan anak perempuan mereka bekal untuk menghadapi tantangan, membangun hubungan sosial sehat, dan menjaga keselamatan selama di perantauan.

"Selain itu, mereka juga harus diberi pemahaman mengenai hak-hak mereka sebagai perempuan, agar bisa melindungi diri dari potensi kekerasan atau eksploitasi," tambah Wiwi.

Perempuan yang merantau juga masih sering dihadapkan pada stigma dan pandangan skeptis masyarakat yang menganggap perempuan yang meninggalkan kampung halaman untuk bekerja atau belajar di kota besar, sebagai tindakan "tidak sesuai kodrat."

"Di luar kota besar perempuan kalau merantau kadang suka dibilang ‘mengabaikan kodrat’. Tapi ada juga anak yang ingin merantau lebih banyak dilarang karena orangtuanya khawatir," ujar Wiwi.

Sementara menurut Sosiolog UI, Ida Ruwaida, daerah tujuan perantauan juga memengaruhi pengalaman perantau.

Saat ini, meski merantau dianggap relatif aman, perempuan lajang di beberapa wilayah masih bisa dipandang sebagai ancaman, termasuk mereka yang lajang karena perceraian atau menjadi janda.

Oleh sebab itu, pilihan tempat tinggal dinilai penting, terutama di daerah dengan kontrol sosial yang ketat. Di kota besar, perempuan lajang lebih mudah ditemui, bahkan sebagian memilih tinggal di apartemen untuk menghindari komentar tetangga.

"Berdasarkan pengalaman pribadi, di wilayah yang masyarakatnya cenderung tidak banyak pendatang, para perantau akan menjadi sorotan, terutama perempuan, apalagi jika memiliki latar budaya atau agama yang berbeda," ujar Ida.

Ia menambahkan bahwa di beberapa daerah, terutama pedesaan, isu mayoritas dan minoritas juga masih cukup kuat, sehingga kemampuan memahami masyarakat setempat dan beradaptasi menjadi hal yang penting bagi para perantau.

Mereka tidak hanya membuktikan bahwa perempuan mampu bertahan di tanah rantau, tetapi juga bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk berkontribusi secara luas.

Kehadiran perempuan di ruang-ruang yang selama ini didominasi oleh laki-laki dapat membuka mata banyak pihak akan pentingnya kesetaraan, kesempatan dan penghargaan terhadap kemampuan seseorang, terlepas dari gender.

Baca Juga: Seksisme Nodai Pilkada 2024, Bagaimana Pengaruhnya terhadap Partisipasi Perempuan dalam Pemilu?

Penulis: Ratu Humaira Nugraha

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI