Ironi Pekerja Migran: Pahlawan Devisa yang Rentan Terjebak Lingkaran Penderitaan

Devisa dari pekerja migran ditarget naik menjadi Rp250 triliun pada 2025 mendatang. Lalu, apa timbal balik yang mereka dapat?

By: Rima Sekarani Imamun Nissa icon Rabu, 13 November 2024 icon 12:54 WIB
Ironi Pekerja Migran: Pahlawan Devisa yang Rentan Terjebak Lingkaran Penderitaan

Ilustrasi perjuangan perempuan pekerja migran (Dewiku.com/Ema)

Pekerja migran Indonesia (PMI) bukan hanya pahlawan keluarga, tetapi juga andalan negara. Pendapatan Indonesia dari mereka rata-rata senilai Rp227 triliun per tahun. Ironisnya, kontribusi devisa sebegitu banyaknya tidak sebanding dengan perlakuan yang terima PMI maupun purna pekerja migran.

Selama beberapa dekade, berbagai permasalahan terkait perlindungan PMI jelas tidak ada habisnya. Banyak PMI yang menjadi korban kekerasan saat mencari nafkah di luar negeri, bahkan hingga pulang tak bernyawa. Tak sedikit pula yang terjebak menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Saat memutuskan kembali ke Tanah Air, mereka belum pasti bisa hidup sejahtera. Banyak purna pekerja migran yang sulit mendapat pekerjaan di Indonesia karena perkara usia dan pendidikan, coba berwirausaha tetapi gagal, juga mesti berhadapan dengan stigma sosial.

Baca Juga: Kabinet Maskulin ala Prabowo: di Mana Janji Kesetaraan Gender Pak Presiden?

"Stigma masyarakat, kalau ada yang baru pulang dari luar negeri, pasti uangnya banyak. Padahal, uang banyak itu tidak untuk diri sendiri," ungkap Rizky, purna pekerja migran asal Banyuwangi, Jawa Timur, dikutip Dewiku.com dari dokumen Forum Konsolidasi Purna Pekerja Migran Indonesia 2023 yang dihimpun Beranda Migran, Rabu (13/11/2024). 

Rizky juga mengatakan, "Dengan stigma negatif dari masyarakat, jika tidak kuat mental, akan sangat bahaya pada kondisi psikis."

Keluhan serupa diungkapkan Neni, purna pekerja migran asal Blitar, Jawa Timur. "Saya dianggap mempunyai duit banyak. Selain itu, awalnya diterima dengan baik oleh keluarga, lama-lama berubah," ujarnya.

Baca Juga: Aksi Kamisan Pertama di Era Prabowo, Pelanggaran HAM Berat Harus Dipertanggungjawabkan

Penghasil Devisa Terbanyak Nomor Dua

Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2017, tak kurang dari 9 juta orang Indonesia bekerja di luar negeri. Sempat menurun di era pandemi, jumlah penempatan PMI telah kembali menunjukkan tren peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan segala permasalahan yang dihadapi pekerja migran maupun para purna, pemerintah terus menggencarkan program penempatan PMI. Pemerintahan era Prabowo Subianto yang baru berjalan kurang dari sebulan ini bahkan pasang target kenaikan devisa dari pekerja migran menjadi Rp250 triliun pada 2025 mendatang.

"Saya kira dari Rp227 triliun naik ke Rp250 triliun itu kita bisa capai," kata Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), Abdul Kadir Karding, pada Selasa (5/11/2024) lalu, dilansir dari Suara.com.

PMI merupakan penghasil devisa terbesar kedua bagi negara. Terkait hal tersebut, Kadir menekankan bahwa pemerintah punya tanggung jawab untuk perhatian dari hulu ke hilir dalam rangka membuka lapangan kerja dan pangsa pasar yang bagus ke depannya.

"Kita akan perbaiki mulai dari perekrutan, penempatan, sampai nanti pasca, purna. Ini akan kita kelola dari hulu ke hilir sedemikian rupa," tuturnya.

Romantisasi Gaji Dua Digit

Internasional Migrant Indonesia (IMA) tidak memandang peningkatan jumlah orang Indonesia yang menjadi pekerja migran sebagai pertanda baik. Sebaliknya, hal tersebut justru semakin menunjukkan ketidakmampuan negara menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.

"Meningkatkan jumlah orang yang dikirim untuk meningkatkan devisa. Siapa pun presidennya, selalu sama," ucap Ketua IMA, Eni Lestari, saat ditemui Dewiku.com di Yogyakarta, Selasa pekan kemarin.

"Di tengah segala yang menimpa banyak pekerja migran, mengapa pengiriman pekerja migran menjadi satu agenda wajib?" imbuh Eni.

Pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) sudah berlangsung selama lebih dari 50 tahun, yakni sejak era pemerintahan Soeharto. Menurut Eni, motif utamanya adalah mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan serta menambah devisa. Namun, kebijakan yang tidak protektif nyatanya membuat PMI rentan terperangkap dalam lingkaran penderitaan, termasuk eksploitasi, diskriminasi, stigmatisasi, hingga kriminalisasi.

Eni menyoroti narasi pemerintah terkait romantisasi gaji dua digit yang diterima pekerja migran. Efek nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah, penghasilan pekerja migran memang tampak besar, tetapi belum tentu berbanding lurus dengan kelayakan hidup mereka di luar negeri. Terlebih, pekerja migran umumnya tak hanya menanggung biaya hidupnya sendiri, tetapi juga keluarga di Tanah Air.

Eni menambahkan, "Gaji buruh migran di luar negeri itu pasti cuma sepertiga atau separuh dari buruh lokal yang paling rendah. Mengerjakan pekerjaan yang sama, bahkan mungkin lebih berat, tapi gajinya sepatu dari sesama pekerja di sana."

"Jangan hanya dilihat dari dua digitnya. Tidak sesimpel itu," tegasnya.

Harapan para pekerja migran sederhana. Jika memang bisa, mereka tidak akan memilih untuk bekerja di luar negeri. Namun, apakah mereka bisa memperoleh penghasilan yang sama jika bertahan di Indonesia? 

Alih-alih melanggengkan program penempatan PMI, Eni berharap pemerintah berupaya mengurangi pekerja migran dengan menciptakan alternatif ekonomi yang lebih baik di dalam negeri. Bukan hanya lowongan kerja yang banyak, tetapi juga jaminan pendapatan layak.

Pemerintah juga diharapkan memberikan pelayanan yang memang sesuai dengan kebutuhan pekerja migran. Gunakan anggaran negara untuk mengoptimalkan program pelayanan dan perlindungan, bukan malah sibuk mempercantik infrastruktur atau memperkaya para pejabat.

Lebih lanjut, Eni menyebut bahwa pemerintah wajib memperjuangkan perbaikan kondisi kerja yang ada di luar negeri.

"Apa saja? Kenaikan upah. Ini menjadi urgen karena upah kita itu sudah di bawah standar banget. Lalu, memperjuangkan aturan jam kerja, akomodasi layak, juga regulasi untuk makanan sehat," papar perempuan yang berpengalaman menjadi pekerja migran di Hong Kong selama lebih dari 20 tahun ini.

Selain itu, pemerintah sudah semestinya mengakui suara pekerja migran sebagai pihak yang paling punya hak untuk berbicara kebijakan dan program yang relevan.

Eni menuturkan, selama ini semua kebijakan dan program terkait PMI diputuskan sepihak oleh negara. Pemerintah tidak pernah benar-benar bertanya dan serius mempertimbangkan kebutuhan pekerja migran.

"Pernah tidak tanya ke kita, 'Kamu butuh penampungan tidak? Kalau musim dingin, kamu butuhnya apa?' Tidak pernah," ungkap Eni.

Baca Juga: 13 Srikandi Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran, Keterwakilan Perempuan Sudah Ideal?

"Suara pekerja migran, melalui berbagai kelompok yang ada, tidak diakui oleh negara. Ini yang sebenarnya sangat menyakitkan," tandasnya.

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI