FEMISIDA: Dari Objektifikasi hingga Pembunuhan, Siklus Kekerasan terhadap Perempuan

Pada 2022, Jakarta Feminist mencatat ada 184 kasus Femisida dengan total 194 korban dan 208 pelaku. Dari angka tersebut, sebanyak 88 persen pelaku berjenis kelamin laki-laki.

By: Risna Halidi icon Sabtu, 21 September 2024 icon 12:52 WIB
FEMISIDA: Dari Objektifikasi hingga Pembunuhan, Siklus Kekerasan terhadap Perempuan

Ilustrasi FEMISIDA (Dok. Dewiku)

Indonesia tengah dikejutkan dengan tiga kasus pembunuhan tragis terhadap tiga perempuan yang terjadi dalam waktu yang berdekatan.

Kasus pertama terjadi di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, di mana seorang gadis berusia 18 tahun bernama Nia Kurnia Sari, ditemukan tewas terkubur dengan kondisi tangan terikat dan tubuh tanpa busana.

Ilustrasi FEMISIDA (Dok. Dewiku)
Ilustrasi FEMISIDA (Dok. Dewiku)

Sementara kasus kedua terjadi pada anak perempuan berusia 13 tahun berinisial AA, yang ditemukan tewas di sebuah area pemakaman di Palembang, Sumatera Selatan.

Baca Juga: Love Bombing Berujung KBGO, Pelaku Awalnya Husband Material Banget

Kasus ketiga adalah kasus yang menimpan perempuan Bandung berinisial SO, yang menjadi korban KDRT dan dibunuh suaminya dengan cara ditusuk pisau sebanyak tujuh kali, setelah dituduh berselingkuh.

Sementara itu baik Nia maupun AA, diketahui tewas setelah mendapat kekerasan seksual dan secara keji diperkosa. Nia tewas setelah diperkosa oleh pelaku berinisial IS. Sementara anak AA, diperkosa dan dibunuh oleh empat orang sekaligus!

Rentetan kejadian tersebut, menurut Anindya Restuviani dari Jakarta Feminist, terjadi akibat adanya kekerasan sistematis terhadap perempuan, yang berpotensi menyebabkan Femicide atau Femisida atau pembunuhan pada perempuan.

Baca Juga: Siapa Cherry Lai? Co-Owner Brandonville Studios Diduga Jadi Pelaku Kekerasan terhadap Karyawan

Femisida dan Siklus Kekerasan pada Perempuan

Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.

Sementara menurut Jakarta Feminist, Femisida adalah pembunuhan dengan korban perempuan yang menekankan adanya elemen ketidaksetaraan gender, penaklukan, opresi, dan kekerasan sistematis terhadap korban perempuan dan transpuan.

Kepada Dewiku, Anindya Restuviani mengatakan bahwa ketidaksetaraan gender disebabkan oleh budaya patriarki yang mendasari pemikiran bahwa perempuan hanya sebagai objek.

"Kita bisa melihat dalam piramida kekerasan, kekerasan berbasis gender dan seksual itu (berada) paling bawah. Hal itu didasari atas sikap dan cara berpikir patriarkis yang akhirnya mengontrol tubuh perempuan itu sendiri," kata Anindya, dibuat Dewiku Sabtu (21/9/2024).

Apa yang terjadi dengan tiga korban Femisida sebelumnya, lanjut Anindya, merupakan bentuk keterulangan dari kasus kekerasan pada perempuan yang sudah dianggap biasa.

"Mungkin, orang ini (pelaku dan korban) tidak saling kenal. Tapi korban sebetulnya merasakan berbagai macam bentuk kekerasan kekerasan terhadap perempuan lainnya, yang akhirnya menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap diri korban."

Pada 2022, Jakarta Feminist mencatat ada 184 kasus Femisida dengan total 194 korban dan 208 pelaku. Dari angka tersebut, sebanyak 88 persen pelaku berjenis kelamin laki-laki.

Tercatat 18 persen korban memiliki relasi keluarga dengan pelaku. Sementara 40 persen memiliki hubungan intim dengan pelaku dan menjadi korban terbesar dalam kasus Femisida.

Ada pula 32 persen pelaku memiliki hubungan non-personal dengan korban (seperti tetangga, pekerja seks, teman kantor) dan 10 persen lain-lain.

"Kenapa ini bisa terjadi? Nah ini ada keberulangan bentuk bentuk kekerasan yang dibiasakan. Jadi mungkin dia (pelaku) biasa cat calling aja, lalu dari situ tidak ada yang memberi tahu bahwa itu bentuk kekerasan."

"Habis itu karena dibiasakan, dia melihat 'oh ya memang perempuan ini sebagai objek', maka eskalasi terbentuk dan tidak pernah ada yang menegur," tambah Anindya.

Ilustrasi FEMISIDA (Dok. Dewiku)
Ilustrasi FEMISIDA (Dok. Dewiku)

Parahnya, saat sebagian masyarakat mulai melihat adanya bentuk pembiaran dalam kasus kekerasan berbasis gender hingga pada level pembunuhan, masih ada sebagian lainnya yang malah masih menyalahkan korban.

"Misalnya, 'oh salah sendiri jalan sendirian, tidak ditemani' dan segala macam. Masih ada victim blamming dalam konteks Femisida."

Menanti Peran Semua Pihak

Ketika ditanya tentang apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk menekan kasus Femisida, Anindya menyebut pentingnya bersama-sama mendorong pemerintah dan penegak hukum untuk mengawal kasus Femisida.

"Penegak hukum dan negara bisa memberikan keadilan untuk korban. Dan tidak hanya korban tapi juga keluarga korban. Sehingga tidak ada re-victimisasi terhadap keluarga korban."

Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya pendidikan komprehensif terkait kesetaraan gender sebagai bentuk pencegahan terjadinya kekerasan pada perempuan, yang bisa tereskalasi menjadi Femisida itu sendiri.

"Kita juga bisa mulai dari diri sendiri dengan berani melakukan intervensi saat melihat kekerasan sekecil apapun agar bentuk-bentuk kekerasan ini tidak dibiasakan," tambahnya.

Catatan lain, Anindya meminta agar media memberikan perspektif yang berpihak kepada korban saat memberitakan kasus berita pembunuhan terhadap perempuan atau Femisida.

Baca Juga: Kekerasan di Brandoville Studios Terungkap, Cherry Lai Diduga Aniaya Karyawannya

"Di data kita, 30 persen berita terkait Femisida yang ada di media, masih menggunakan bahasa hiperbolis yang tidak ada hubungan sama sekali dengan kasusnya," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI