Peran Perempuan di Tengah Konflik Pencaplokan Tanah Adat: Amankan Desa hingga Saling Jaga

Seminggu sebelum suaminya ditangkap, hampir setiap hari ada aparat yang datang mengintai ke kampung mereka.

By: Risna Halidi icon Rabu, 25 September 2024 icon 13:18 WIB
Peran Perempuan di Tengah Konflik Pencaplokan Tanah Adat: Amankan Desa hingga Saling Jaga

Mersi Silalahi (Ilustrasi: Dewiku)

Pada Senin (22/6) dini hari, sekira pukul 03.00 WIB, personel polisi dari Polres Simalungun menangkap Thomson Ambarita yang masih terlelap di rumahnya.

Rupanya, selain menangkap Thomson Ambarita, polisi juga menangkap Jonny Ambarita, Giovani Ambarita, Parando Tamba, dan Dosmar Ambarita.

Mereka semua ditahan dengan tuduhan melakukan perusakan dan penganiayaan terhadap pekerja PT. Toba Pulp Lestari yang terletak di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Baca Juga: Perempuan Pelaku Kejahatan Lebih Menyita Perhatian, Bukti Nyata Sindrom 'Blame the Woman'?

Kepada Dewiku, istri Thomson Ambarita yaitu Mersi Silalahi mengatakan bahwa seminggu sebelum suaminya ditangkap, hampir setiap hari ada aparat yang datang mengintai ke kampung mereka.

"Suami saya sudah dua kali dipenjara. Di tahun 2019 dapat vonis 9 bulan penjara. Sekarang masih tahanan Polres belum ke Kejaksaan. Mudah-mudahan polisi membebaskan mereka," ucapnya saat ditemui Dewiku di Media Center PGI, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (11/9) lalu.

Konflik antara PT. Toba Pulp Lestari atau TPL dengan masyarakat adat di Simalungun sendiri berawal dari klaim sepihak pemerintah terhadap tanah adat Ompu Mamontang Laut Ambarita dan Ompu Umbak Siallagan tanpa persetujuan dari dua komunitas adat tersebut.

Baca Juga: FEMISIDA: Dari Objektifikasi hingga Pembunuhan, Siklus Kekerasan terhadap Perempuan

Akibatnya, akses masyarakat adat terhadap tanah mereka menjadi hilang. Belum lagi dampak aktivitas perusahaan yang mengakibatkan kerusakan masif di atas wilayah adat mereka.

Tak hanya mengambil alih tanah adat dan merusak lingkungan, konflik tersebut rupanya menyisakan trauma tersendiri bagi kelompok perempuan dan anak di sana.

Pernah kata Mersi, para perempuan di desanya yaitu di desa Sihaporas, harus bertahan hidup dan melindungi satu sama lain tanpa kehadiran lelaki dewasa.

Selama satu bulan penuh di tahun 2019, para perempuan terpaksa menjadi tameng terakhir untuk menjaga kampung mereka.

"(Kondisi) itu ada sekitar satu bulan. Baru setelah kita ada jumpa ibaratnya dari kepolisian, mereka (laki-laki) pelan-pelan balik lagi ke kampung," tambah ibu lima anak itu.

Dan setiap konflik memanas, Mersi menyebut orang-orang di desanya akan saling jaga selama 24 jam penuh lantaran adanya perasaan diintai.

"Yang jelas siang malam ada drone datang. Makanya kita sekarang itu harus berjaga 24 jam karena kita merasa diintai."

Mersi Silalahi (Ilustrasi Dewiku)
Mersi Silalahi (Ilustrasi Dewiku)

Bukan hanya teror drone, kedatangan aparat menenteng laras panjang juga jadi pemandangan biasa.

"Memang tidak ngomong sih, tapi kami merasa terintimidasi dan terancam di wilayah kita sendiri karena kita beranggapan akan terjadi penculikan seperti yang dialami kawan kita," katanya.

Tidak hanya itu, tempat sakral untuk melakukan ritual adat serta hutan yang menjadi sumber obat-obatan masyarakat juga telah berganti menjadi tanaman ekaliptus milik PT. Toba Pulp Lestari.

Di tahun 2024 ini, Mersi mengatakan bahwa hutan di sekitar dua mata air di Sihaporas sudah tidak ada. Karena tidak ada hutan, maka aliran air ke Danau Toba itu pun sudah tak ada.

Baca Juga: Air Mata di Danau Toba: Kisah Mersi Silalahi Lawan Kekerasan dan Pencemaran Lingkungan di Tanah Adat Batak

"Makanya sekarang itu debit dari air Danau Toba itu tidak bagus. Dan daripada TPL kami akui, limbahnya akan mengalir ke Danau Toba juga," pungkas Mersi Silalahi.

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI