Ragam

Memahami Akar Masalah Filisida: Mengapa Orang Tua Membunuh Anak Mereka?

Fenomena orang tua atau orang terdekat membunuh anaknya dikenal dengan istilah filisida, dan kasus ini semakin memprihatinkan di Indonesia.

Vania Rossa

Ilustrasi filisida. [SuaraJogja.com / Ema Rohimah]
Ilustrasi filisida. [SuaraJogja.com / Ema Rohimah]

Dewiku.com - Banyaknya kasus anak yang dibunuh oleh orang tuanya sangat memprihatinkan akhir-akhir ini. Fenomena orang tua atau orang terdekat membunuh anaknya dikenal dengan istilah filisida, dan kasus ini semakin memprihatinkan di Indonesia.

Istilah filisida sendiri berasal dari kata Latin "filius" (anak laki-laki) dan "filia" (anak perempuan), dengan akhiran "-cide" yang berarti membunuh. Secara umum, filisida mengacu pada pembunuhan anak oleh orang tua kandung atau orang tua tiri.

Fenomena ini bukan hanya menyentuh aspek kriminalitas semata, tetapi juga mencerminkan kegagalan sosial yang mendalam di masyarakat, terutama dalam konteks perlindungan anak dan kesejahteraan keluarga.

Data yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), sepanjang tahun 2024, tercatat sebanyak 19.626 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Angka ini berasal dari lebih dari 4.000 lembaga yang mencatatkan laporan terkait kekerasan anak.

Dari total kasus tersebut, hampir 80% atau sebanyak 15.240 kasus melibatkan korban anak perempuan. Sementara itu, 6.406 kasus lainnya melibatkan korban anak laki-laki.

Angka-angka ini tidak hanya menggambarkan tingkat kekerasan fisik atau emosional yang dialami anak, tetapi juga mencerminkan kenyataan bahwa anak-anak sering kali menjadi korban dari kekerasan dalam rumah tangga, yang pada puncaknya bisa berujung pada tindakan filisida.

Mengapa Orang Tua Bisa Membunuh Anaknya Sendiri?

Sosiolog Keluarga dan Dosen sosiologi UIN Jakarta, Ida Rosyidah, menyebutkan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya filisida, baik dari perspektif sosiologi maupun psikologi, sangat kompleks.

Dari sisi sosiologi, lemahnya pengetahuan agama dan kurangnya ikatan sosial yang kuat dengan keluarga besar atau lingkungan sekitar menjadi faktor yang mempengaruhi. Ketika individu merasa terisolasi dan tidak memiliki jaringan dukungan yang memadai, mereka mungkin kesulitan dalam mengatasi tekanan hidup.

“Sementara itu, dari perspektif psikologis, kondisi seperti depresi berat atau gangguan mental yang lebih serius, seperti halusinasi, dapat menjadi pemicu tindakan kekerasan ekstrem terhadap anak,” ungkap Ida kepada Dewiku (1/2/2025).

Menurutnya, dari perspektif sosiologi, fenomena filisida bisa dipahami melalui konsep yang disebut bunuh diri altruistik yang dikemukakan oleh Durham.

Bunuh diri altruistik merujuk pada pandangan bahwa seseorang, dalam hal ini orangtua, melakukan tindakan ekstrem seperti membunuh anak karena merasa itu adalah pilihan terbaik bagi masa depan anak tersebut.

“Orang tua mungkin berpikir bahwa anak mereka akan hidup lebih baik tanpa menghadapi kemiskinan yang akan datang, atau lebih baik mati sekarang daripada menderita di masa depan,” ujar Ida.

Dalam menghadapi kasus filisida atau kekerasan terhadap anak, peran komunitas sekitar sangatlah penting. Menurut pemaparan Ida, mengidentifikasi ciri-ciri awal yang dapat menandakan bahwa seorang anak sedang berada dalam bahaya adalah langkah pertama yang krusial.

Ciri-ciri tersebut bisa mencakup perubahan perilaku anak, seperti menarik diri dari interaksi sosial, sering menangis tanpa sebab jelas, atau menunjukkan tanda-tanda fisik kekerasan.

“Namun, kadang-kadang, masalah yang lebih mendalam, seperti tekanan emosional pada orang tua atau masalah kesehatan mental, mungkin tidak langsung terlihat, tetapi bisa bisa dilihat dari pola pengasuhan orangtua,” tuturnya.

Menurut Ida, tokoh adat atau agama memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya filisida.

“Mereka bisa melakukan pendekatan persuasif untuk membantu orang tua yang mungkin sedang mengalami tekanan hidup atau gangguan psikologis. Mereka dapat memberikan dukungan emosional dan psikologis kepada orang tua, serta membantu mereka untuk menemukan solusi yang lebih baik dalam mengasuh anak-anak mereka,” tutupnya.

(Humaira Ratu)

Berita Terkait

Berita Terkini