Ragam

Psikolog Ungkap Alasan Kenapa Fenomena Ghosting Makin Lumrah di Kalangan Gen Z

Ghosting makin sering kejadian di kalangan Gen Z. Kenapa sih banyak yang ngerasa ini udah jadi hal biasa? Psikolog kasih jawabannya di sini!

Vania Rossa

Ilustrasi perempuan di-ghosting. (Freepik)
Ilustrasi perempuan di-ghosting. (Freepik)

Dewiku.com - Siapa nih yang pernah di-ghosting atau malah jadi pelaku ghosting? Nggak usah malu, soalnya ternyata fenomena ini makin sering terjadi di kalangan Gen Z, lho! Entah itu di dating apps, chat, atau pertemanan, ghosting udah kayak jadi “jalan pintas” buat menghindari situasi nggak nyaman.

Tapi, kenapa sih ghosting bisa jadi hal yang dianggap biasa aja? Apa karena orang sekarang makin nggak mau ribet? Atau ada alasan psikologis di balik semua ini?

Yuk, simak penjelasan dari psikolog biar kita ngerti kenapa ghosting makin lumrah belakangan ini!

Ogah Konflik. Malah Pilih Ghosting

Ghosting sebenarnya bukan hal baru, tapi makin sering kejadian sejak komunikasi digital jadi bagian penting dalam hubungan sehari-hari.

Menurut Idei Khurnia Swasti, psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), ghosting biasanya dilakukan karena si pelaku ngerasa nggak nyaman buat jujur atau takut sama konflik.

"Daripada harus menjelaskan atau berdebat, mereka memilih untuk diam dan pergi" ujar Idei dalam wawancara bareng UGM News.

Lebih jauh, Idei bilang kalau kebiasaan ini bisa jadi cerminan gaya keterikatan emosional seseorang, khususnya yang punya avoidant attachment alias tipe orang yang cenderung menghindari hubungan emosional yang terlalu dekat.

Pola ini bisa kebentuk dari kecil, apalagi kalau dulu pernah ngerasa ditolak atau diabaikan sama orang tua.

Nggak cuma itu, menurut psikolog klinis Roslina Verauli, ghosting juga bisa jadi tanda seseorang belum dewasa secara emosional.

Ia menyebut pelaku ghosting sebagai seseorang yang "bersembunyi di balik mekanisme pertahanan primitif seperti penyangkalan (denial) dan penghindaran (avoidance)."

Dalam artian lain, orang yang suka ghosting sering kali tidak mampu menghadapi realitas emosional yang rumit, sehingga mereka memilih cara cepat: pergi tanpa jejak.

Padahal, meski kelihatannya simpel buat pelaku, dampak ghosting buat korbannya bisa berat banget. Banyak yang jadi overthinking, ngerasa ada yang salah sama diri sendiri, bahkan susah percaya lagi sama orang baru. Dalam beberapa kasus, ghosting ini bisa ninggalin trauma emosional yang nggak main-main.

Lalu gimana cara ngadepinnya? Kata para ahli, valid kok kalau kamu ngerasa sedih, kecewa, atau kesel. Jangan buru-buru nyalahin diri sendiri, karena seringnya ghosting justru nunjukkin masalah di pelaku, bukan di kamu.

Kalau mau, boleh banget coba cari penjelasan dari si pelaku—tapi kalau tetap nggak ada respons, saatnya move on pelan-pelan.

Alihkan energi buat kenal diri sendiri, bangun lagi kepercayaan diri, dan jangan nutup pintu buat hubungan baru yang lebih sehat.

Ghosting boleh aja makin sering, tapi bukan berarti itu cara yang oke buat nyelesaiin masalah. Para psikolog bilang, kuncinya ada di komunikasi yang jujur dan terbuka.

Emang nggak nyaman bilang “nggak cocok” ke orang, tapi jauh lebih baik dibanding ngilang tanpa kabar dan ninggalin luka.

(Imelda Rosalina)

Berita Terkait

Berita Terkini