Trending

Heboh Pergub Poligami: Mengapa Negara Harus Ikut Campur Dalam Urusan Rumah Tangga ASN?

Pergub ini menetapkan aturan bagi ASN yang mengajukan izin untuk memiliki lebih dari satu istri, di mana mereka wajib memberikan alasan dan bukti tertulis yang membuktikan bahwa tindakan tersebut memang diperlukan.

Vania Rossa

Ilustrasi Pergub poligami. (Shutterstock)
Ilustrasi Pergub poligami. (Shutterstock)

Dewiku.com - Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi, baru-baru ini menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian. Pergub ini memperbolehkan poligami bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Pergub ini menetapkan aturan bagi ASN yang mengajukan izin untuk memiliki lebih dari satu istri, di mana mereka wajib memberikan alasan dan bukti tertulis yang membuktikan bahwa tindakan tersebut memang diperlukan. 

Tujuan dari regulasi ini, menurut Setyabudi, adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi ASN terkait isu perkawinan dan perceraian, termasuk dalam konteks poligami. 

Dan seperti yang sudah bisa diperkirakan, kebijakan ini langsung memicu perdebatan  di berbagai kalangan. 

Merespon hal ini, Politisi PDIP Rieke Diah Pitaloka mengkritik aturan ini. Menurutnya, perundangan daerah terkait ASN seharusnya berfokus pada tugas-tugas sebagai pelayan publik, terutama terkait masalah birokrasi supaya lebih terencana dan terarah dengan baik. 

"Katanya, Reformasi Birokrasi, fokuslah pada birokrasi yang dapat bekerja untuk tercapainya kesejahteraan rakyat, bukan mengurusi urusan rumah tangga ASN, apalagi soal poligami," ujar Rieke memberi teguran, dilansir dari Suara.com. 

Kritik serupa juga dilontarkan oleh Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia. Menurutnya, lebih penting bagi pemerintah untuk fokus pada kebijakan yang dapat melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga dan menghapus ketidakadilan struktural, daripada memberikan legitimasi terhadap poligami. 

Poligami dalam Konteks Kesetaraan Gender

Salah satu alasan utama mengapa kebijakan ini menuai kritik adalah karena poligami dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender yang diakui secara internasional. 

Usman Hamid, menyebutkan bahwa kebijakan ini tidak sejalan dengan prinsip kesetaraan gender, baik pada tataran nasional maupun internasional. 

"Praktik poligami bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Indonesia," kata Usman, yang juga dilansir dari Suara.com. 

Indonesia yang telah meratifikasi sejumlah konvensi internasional terkait hak asasi manusia, termasuk International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), seharusnya mengedepankan prinsip kesetaraan dalam setiap kebijakan publik. 

Poligami yang memungkinkan seorang pria memiliki lebih dari satu istri, dianggap tidak sejalan dengan prinsip kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. 

Praktik ini secara tidak langsung memperkuat stereotip gender dan menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, terutama dalam ranah domestik dan sosial.

Pergub ini juga dianggap memperlihatkan ketidaksetaraan dalam penilaian terhadap perempuan, terutama terkait alasan-alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan izin poligami, seperti ketidakmampuan istri untuk menjalankan kewajiban domestik atau memberi keturunan. 

Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan masih sering dipandang semata-mata berdasarkan fungsi mereka dalam urusan rumah tangga dan reproduksi, bukan sebagai individu dengan hak yang setara.

Kemunduran atau Upaya Memperbaiki Keadilan Sosial?

Meskipun pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi ASN yang ingin berpoligami, banyak pihak yang memandangnya sebagai kemunduran dalam perjuangan untuk kesetaraan gender di Indonesia.

Alih-alih memfokuskan perhatian pada pengaturan poligami, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan upaya perbaikan akses perempuan terhadap hak-hak hukum yang lebih mendesak terhadap perempuan. 

Salah satunya adalah perbaikan sistem hukum terkait perceraian dan hak asuh anak, yang hingga kini masih sering kali tidak berpihak pada perempuan.

"Ketimbang membuat aturan yang diskriminatif terhadap perempuan, ada baiknya PJ Gubernur Jakarta maupun pemerintah secara umum membuat aturan yang memberikan akses yang setara bagi perempuan dalam hal mengajukan perceraian dan mendapatkan hak asuh anak," ungkap Usman. 

Sebagai langkah untuk menciptakan kesetaraan gender yang lebih nyata,  dapat dilakukan melalui pendidikan yang menekankan kesetaraan gender sejak dini, baik di sekolah maupun dalam masyarakat. 

Pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kesetaraan gender dapat membantu menumbuhkan pemahaman yang lebih baik mengenai hak-hak perempuan serta peran laki-laki dalam mendukung kesetaraan tersebut.

(Humaira Ratu)

Berita Terkait

Berita Terkini