Ragam
Kamu Terlalu Mandiri: Ketika Kemandirian Perempuan Masih Dianggap Ancaman
Kemandirian yang seharusnya menjadi nilai positif, sering kali dikaitkan dengan sikap tidak butuh laki-laki, terlalu dominan, atau bahkan tidak feminin.
Elga Maulina

Dewiku.com - “Jangan apa-apa ngerjain sendiri, cowok jadi minder kalau kamu terlalu mandiri.”
Kalimat ini mungkin terdengar seperti nasihat, namun bagi banyak perempuan, justru menjadi bentuk tekanan sosial terselubung.
Baca Juga
Women News Network: Menguatkan Suara Perempuan dari Aceh hingga NTT
Lajang dan Bahagia: Cara Perempuan Menikmati Hidup Tanpa Tekanan Sosial
Wujud Kesetaraan di Dunia Transportasi, Kartini Masa Kini di Balik Kemudi
Koneksi Bukan Kompetisi: The Real Power of Women Supporting Women
Terjebak dalam Fake Helplessness, Kenapa Kita Sering Merendahkan Potensi Diri?
Kemandirian yang seharusnya menjadi nilai positif, sering kali dikaitkan dengan sikap “tidak butuh laki-laki”, “terlalu dominan”, atau bahkan “tidak feminin”. Fenomena ini menunjukkan kalau masyarakat masih sering punya pandangan yang berat sebelah soal perempuan.
Kemandirian adalah nilai yang kerap dijunjung tinggi dalam masyarakat. Namun, ketika nilai tersebut dimiliki oleh perempuan, tak jarang justru menjadi sumber stigma. Perempuan yang mandiri sering kali dianggap terlalu dominan, terlalu kuat, bahkan terlalu tidak membutuhkan siapa pun.
Ning Khilma Anis, seorang penulis dan aktivis perempuan mengungkapkan bahwa perempuan harus bisa mandiri agar bisa mengharapkan sesuatu dari usahanya sendiri. Pernyataan ini menegaskan bahwa kemandirian bukanlah bentuk arogansi, melainkan upaya untuk hidup dengan integritas dan tanggung jawab.
Menjadi perempuan mandiri bukanlah sebuah proses yang sederhana. Banyak perempuan harus melewati tantangan hidup yang berat, mulai dari akses pendidikan, tekanan keluarga, hingga pengalaman hidup yang membentuk ketangguhan mereka.
Stigma dan Stereotip yang Masih Melekat
Stigma terhadap perempuan mandiri muncul karena masih banyak orang yang berpikir kalau tugas perempuan itu cuma di rumah, seperti mengurus dapur dan keluarga. sehingga, saat ada perempuan yang mandiri, punya karier, atau bisa ambil keputusan sendiri, sebagian orang merasa tidak nyaman atau heran.
Dalam banyak budaya, perempuan diharapkan untuk bersikap lemah lembut, bergantung pada laki-laki, dan menghindari dominasi dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa peran tradisional perempuan masih sangat kuat tertanam, bahkan di era yang serba modern ini.
Padahal, kemandirian perempuan bukan berarti mereka menolak kehadiran pasangan atau relasi. Justru, banyak perempuan yang mandiri mampu membangun hubungan yang sehat karena mereka memahami batas, menghargai diri sendiri, dan tidak menggantungkan kebahagiaan sepenuhnya pada orang lain.
Untuk mengubah pandangan yang salah tentang perempuan mandiri, masyarakat perlu mulai mengubah cara berpikir. Kemandirian perempuan itu bukan ancaman, tapi justru sebuah kekuatan.
Pendidikan menjadi salah satu hal penting supaya perempuan punya kesempatan yang sama. Bukan hanya itu, media juga memiliki peran besar karena semakin banyak perempuan mandiri yang ditampilkan secara positif, semakin mudah orang menerima bahwa itu hal yang biasa.
Komunitas dan support system juga berperan besar. Saat perempuan saling mendukung, berbagi pengalaman, dan menyuarakan kisah mereka, rasa percaya diri akan tumbuh semakin kuat. Menjadi mandiri bukan berarti berjalan sendiri melainkan punya kendali atas hidup, pilihan, dan masa depan.
Kemandirian perempuan bukan sesuatu yang perlu dikecilkan atau ditakuti. Ini adalah bentuk keberanian, hasil dari perjuangan, dan ekspresi dari kemerdekaan diri. Sudah saatnya masyarakat berhenti menganggapnya sebagai ancaman dan mulai melihatnya sebagai inspirasi. (Dewiku.com/Sifra)