Ragam
Stereotip Cewek Tomboy: Dikira Kuat Terus, Padahal Bisa Lelah Juga
Selalu dianggap kuat dan tahan banting, cewek tomboy kerap terjebak dalam stereotip yang nggak adil. Padahal, mereka juga bisa lelah, rapuh, dan butuh dimengerti seperti yang lain. Saatnya koreksi anggapan keliru ini!
Vania Rossa

Dewiku.com - Dalam kehidupan sehari-hari, tak sedikit perempuan bergaya tomboy yang langsung diberi label sebagai sosok “kuat”, “nggak cengeng”, atau “tahan banting”.
Hanya karena tampil dengan pakaian longgar, warna-warna netral, sneakers, atau gaya yang dianggap maskulin, banyak orang buru-buru menilai kepribadian mereka dari penampilan semata.
Baca Juga
Kenapa Cewek Gen Z Waspada Banget Sama Red Flag di Dating Apps? Ini Alasannya Menurut Pakar
Tipe Cowok Idaman Berdasarkan Zodiak Cewek: Siapa yang Bikin Kamu Kelepek-Kelepek?
Anak Anies Baswedan Dihujat Gegara Dapat Beasiswa LPDB: Emang Nggak Boleh Buat Orang Kaya?
Beban Anak Sulung: Selalu Kuat, Padahal Kadang Mau Nangis Juga
Perpustakaan Parfum Pertama di Asia Ada di Jakarta, Lho! Tempat Wajib Buat Si Pencinta Wangi
Keluarga Cemara Hadir di Panggung Teater, Sajikan Kisah Hangat untuk Libur Sekolah
Padahal, menyamakan pilihan fashion dengan kekuatan mental atau emosional jelas merupakan stereotip yang keliru.
Istilah tomboy di masyarakat biasanya merujuk pada perempuan yang merasa lebih nyaman memakai pakaian atau menunjukkan perilaku yang secara tradisional dihubungkan dengan laki-laki.
Namun, di balik pilihan gaya itu, sering kali ada perasaan yang tak terungkap—bahwa identitas mereka disalahpahami.
Gaya tomboy seharusnya jadi bagian dari ekspresi diri dan kenyamanan personal, bukan malah dibebani dengan ekspektasi sosial: harus kuat, harus tegar, dan dilarang menunjukkan sisi rapuh atau emosional.
Stereotip Gender yang Masih Melekat
Di media sosial maupun kehidupan sehari-hari, kita sering banget menemui narasi yang menggambarkan cewek tomboy sebagai sosok keren, mandiri, tahan banting, dan jauh dari kata drama.
Kesan ini sekilas terdengar positif, tapi hati-hati — angapan seperti ini justru bisa jadi pedang bermata dua.
Menurut penelitian Craig & LaCroix yang dimuat di Journal of Lesbian Studies, identitas tomboy sering kali muncul bukan semata karena preferensi gaya pribadi, tapi bisa juga sebagai bentuk perlindungan diri.
Gaya ini bisa jadi strategi sementara untuk menghindari cap negatif, seperti stereotip soal cewek feminin yang dianggap lemah, stigma soal orientasi seksual, atau sempitnya standar sosial yang ada di sekitar.
Dalam konteks ini, citra “kuat” yang dilekatkan ke cewek tomboy seringkali bukan cerminan jati diri mereka sebenarnya, melainkan hasil dari tekanan lingkungan yang menuntut mereka tampil lebih tegas, lebih tahan banting, lebih ‘beda’ agar dianggap pantas atau diterima.
Jadi wajar kalau muncul pertanyaan: benarkah cewek tomboy itu selalu sekuat kelihatannya? Bisa jadi anggapan itu malah lebih mencerminkan ekspektasi sosial daripada kepribadian asli mereka sendiri.
Label semacam ini nggak cuma membatasi ruang gerak individu, tapi juga menyempitkan cara kita memahami identitas seseorang.
Kenyataannya, ada banyak cewek bergaya maskulin yang hatinya selembut kapas, atau cewek feminin yang pikirannya kritis dan logis luar biasa.
Gaya luar nggak bisa dijadikan patokan pasti untuk menilai isi hati dan kepala seseorang.
Meluruskan stereotip bukan berarti menghapus identitas yang sudah ada. Justru ini membuka ruang lebih luas agar setiap orang bisa bebas mengekspresikan dirinya, tanpa takut dihakimi.
Cewek tomboy bukan berarti nggak butuh pelukan, sama seperti cewek feminin bukan berarti lemah atau gampang rapuh.
Kita sebagai masyarakat juga perlu lebih peka dan sadar—bahwa gaya berpakaian itu soal preferensi, kenyamanan, dan cara berekspresi, bukan tolok ukur kekuatan mental atau daya tahan emosional seseorang.
Jadi, menjadi cewek tomboy bukan berarti wajib tampil kuat setiap saat. Di balik kaos longgar, jaket oversized, dan sneakers favorit, bisa saja tersimpan hati yang juga butuh ruang aman untuk merasa rapuh, lelah, bahkan butuh dipahami.
Daripada sibuk memberi label, bukankah lebih baik kita belajar untuk mendengarkan? Karena sebenarnya, kekuatan sejati itu bukan soal penampilan luar — tapi soal keberanian seseorang untuk jujur dengan dirinya sendiri.
(Sifra Kezia)