Trending

Tas Branded Mulai Bikin Jenuh? Perempuan Korea Bertanya: Kita Bayar Barangnya atau Gengsinya?

Fenomena baru di Korea Selatan: banyak perempuan mulai meninggalkan tas branded karena dianggap terlalu pasaran. Dulu simbol status, sekarang malah bikin semua orang terlihat sama. Jadi, masih penting punya tas mahal kalau rasa eksklusifnya hilang?

Vania Rossa

Ilustrasi perempuan bawa tas branded. (Freepik)
Ilustrasi perempuan bawa tas branded. (Freepik)

Dewiku.com - Di dunia di mana sebuah tas bisa lebih mahal dari biaya kuliah satu semester, ternyata muncul satu fenomena menarik dari Negeri Ginseng: orang Korea mulai bosan pakai tas branded.

Bukan karena kualitasnya jelek. Bukan juga karena desainnya kurang estetis. Tapi, karena ternyata semua orang juga punya.

Yes, bahkan si tetangga, si kolega, sampai si tamu kondangan yang baru kenal—semuanya bawa Chanel yang sama.

Tas Mahal, Tapi Serasa Seragam

Melansir unggahan di Instagram @eunji.korean, seorang perempuan Korea berbagi kisah yang relatable tapi nyesek. Ia pernah beli tas Chanel impian, harga tak usah disebut—yang jelas cukup bikin dompet menjerit. Tapi pas dipakai ke acara pernikahan, dia nyaris nggak bisa menemukan tasnya sendiri.

Kenapa? Karena ada 6–7 tamu lain yang bawa tas Chanel yang sama, dengan warna yang sama pula.

Padahal, salah satu daya tarik dari barang mewah itu ya rasa eksklusif dan personal. Rasanya kayak, “Ini tas gue banget, nggak semua orang punya.”

Eh, tapi kalau ternyata semua orang punya, yang mahal jadi terasa massal.

Dulu, Tas Branded = Status. Sekarang?

Dulu, punya tas branded itu semacam tanda pencapaian hidup. Kamu kerja keras, nabung, dan akhirnya bisa beli the bag—lalu dunia akan tahu bahwa kamu made it.

Tapi sekarang? Rasanya semua orang bisa punya, asal bisa cicil atau pinjam.

Tas mahal bukan lagi simbol status, tapi justru bikin pertanyaan baru: “Ini orang kaya beneran, atau sekadar ikut tren aja?”

Dan, lebih jauh lagi: “Kenapa harus nunjukin status sosial lewat tas sih?”

Yang Dicari Bukan Lagi Logo, Tapi Cerita

Di tengah tren ini, orang Korea—khususnya generasi muda dan perempuan urban—mulai berpaling ke tas-tas yang lebih personal dan unik. Bukan soal harga lagi, tapi soal desain yang gak pasaran, craftsmanship lokal, atau bahkan tas buatan tangan dari seniman kecil yang cuma bikin 10 pcs se-Korea.

Karena, ya, apa gunanya tas mahal kalau bikin kamu serasa bagian dari katalog?

Harga Naik, Rasa Memiliki Turun

Krisis global dan tekanan finansial juga ikut memengaruhi cara orang berpikir.

Harga luxury item naik terus, tapi rasa memiliki dan kepuasan justru makin turun. Banyak yang mulai mikir ulang, “Yang gue beli ini barangnya, atau gengsinya?”

Dan kalau gengsinya pun udah kehilangan eksklusivitas—karena semua orang punya—maka mungkin sekarang waktunya kita berhenti nanya “Brand-nya apa?” dan mulai nanya “Cerita di balik tas lo apa?”

Akhirnya, Mewah Itu Bukan Lagi Logo Besar di Dada

Fenomena ini adalah pengingat halus bahwa mewah bukan berarti harus mencolok.

Kadang, mewah itu justru yang nggak semua orang tahu, tapi kamu sendiri tahu nilainya.

Tas tanpa logo besar, tapi hasil karya tangan pengrajin dari desa kecil. Tas secondhand warisan nenek, atau tas lokal buatan teman sendiri yang punya cerita panjang soal keberanian dan mimpi.

Karena pada akhirnya, kalau semua orang punya tas yang sama, apa yang bikin kamu beda?

Berita Terkait

Berita Terkini