Menilik Jogja Fashion Week sebagai Gerbang Fesyen Etnik

Mari kembali menengok misi utama Jogja Fashion Week.

By: Rima Sekarani Imamun Nissa icon Senin, 19 November 2018 icon 11:30 WIB
Menilik Jogja Fashion Week sebagai Gerbang Fesyen Etnik

Jogja Fashion Week 2018. (Instagram/@jogjafashionweek.official)

Pagelaran fesyen terbesar di Yogyakarta, Jogja Fashion Week (JFW) 2018 segera dimulai Selasa (20/11/2018) besok. Acara tersebut bakal berlangsung selama enam hari hingga Minggu (25/11/2018) di Hartono Mall, Yogyakarta.

Memasuki tahun ke-13 sejak pertama kali diadakan, JFW 2018 memilih tema Perspectrum. Perspectum sendiri merupakan gabungan dari tiga hal, yakni perspective, spectaculer dan spectrum.

''Kami ingin mengubah paradigma bahwa kedaerahan dianggap sesuatu yang kolot dan tradisional, tapi dengan gubahan atau ekspresi kita nantinya mampu go nasional atau international,'' ujar Afif Syakur selaku Project Director JFW 2018 saat launching dan press conference di Hartono Mall, pertengahan Agustus lalu.

Bagi yang belum tahu, JFW telah rutin diselenggarakan secara berkala di Yogyakarta. Sesuai namanya, acara ini menampilkan berbagai kegiatan terkait industri fesyen, seperti peragaan busana, pameran, dan seminar/workshop.

Launching dan Press Conference JFW 2018. (Dewiku.com/Yasinta Rahmawati)
Launching dan Press Conference JFW 2018. (Dewiku.com/Yasinta Rahmawati)

Awal Mula Jogja Fashion Week

JFW pertama kali diselenggarakan tahun 2006 di Atrium Plaza Ambarukmo, Yogyakarta. Punya visi menjadi pintu gerbang fesyen etnik Indonesia, acara ini berusaha menampilkan desain-desain yang segar di bidang fesyen.

Tim DewiKu berkesempatan mendengar langsung awal mula terbentuknya JFW ini dari salah satu pencetusnya, Phillip Iswardono.

Akhir Oktober kemarin, Phillip berbagi cerita. Sebelum 2006, ia dan kawan-kawan Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) mengikuti ajang Bali Fashion Week. Sepulang dari sana, mereka punya inisiatif dan termotivasi untuk membuat event serupa. Hal itu juga tidak lepas dari banyaknya potensi yang bisa diangkat di Jogja.

''Industri ini sangat berkembang. Setiap tahun itu muncul pelaku industri fesyen baru. Makanya kita punya gagasan merangkul mereka dan minta support Disperindag DIY untuk mengadakan event ini,'' ungkap Phillip.

JFW tidak semata ingin memajukan gelaran fesyen saja. Garis besar misi utamanya adalah memperlihatkan kepada khalayak bahwa Yogyakarta adalah milik Indonesia dan menjadi sumber insiprasi untuk fesyen etnik.

''Etnik yang seperti apa, tentunya etnik yang lebih urban, tidak kuno, dan out of date. Etnik yang pasti kemasannya edgy, keren, dan berselera tinggi,'' ujar pria yang juga seorang desainer busana ini.

Dokumentasi Jogja Fashion Week 2016. (Instagram/@jogjafashionweek.official)
Dokumentasi Jogja Fashion Week 2016. (Instagram/@jogjafashionweek.official)

Melengkapi, Bukan Menyaingi

Jogja Fashion Week bukan pekan fesyen pertama yang digelar di Indonesia. Oktober lalu, ajang Jakarta Fashion Week juga baru saja kembali sukses digelar.

Phillip mengungkapkan, ajang serupa kini banyak bermunculan di daerah lain dengan membawa ciri khas masing-masing.

Menurut Phillip, tidak ada keinginan untuk saling mengungguli. Setiap daerah justru berharap bisa saling melengkapi, bukan menyaingi. Itulah mengapa pihak asosisasi, yakni Indonesia Fashion Chamber (IFC), berupaya memetakan keunggulan masing-masing daerah.

Ia lalu menyontohkan Bandung, yakni di mana industri busana muslimnya berkembang sangat pesat. Itulah kenapa Bandung dijadikan pusat busana muslim di Indonesia. Beragam event busana muslim pun sengaja dipusatkan di Bandung, baik pameran, fashion show, maupun bazar.

Yogyakarta sendiri disiapkan untuk menjadi gerbang pintu fesyen etnik Indonesia. ''Maksudnya kalau cari batik, ya di Jogja aja. Bahwa, batik itu berakar dari Jogja,'' tutur dia.

Dokumentasi Jogja Fashion Week 2016. (Instagram/@jogjafashionweek.official)
Dokumentasi Jogja Fashion Week 2016. (Instagram/@jogjafashionweek.official)

Phillip tentu tidak mempermasalahkan perkembangan fesyen etnik di daerah lain, termasuk banyaknya pembatik yang bermunculan di luar Yogyakarta. Namun, ini semua kembali pada pemetaan potensi daerah yang telah dilakukan IFC.

''Spesialisasi khusus untuk jogja fashion etnik itu di Jogja,'' ujar dia menegaskan.

JFW kemudian diharapkan memberi efek domino untuk memajukan bisnis fesyen di Yogyakarta. Potensi tenun lurik, misalnya. Salah satu kain khas Jogja itu kini sudah sedemikian berkembang.

Motif garis-garis yang jadi ciri khas tenun lurik rupanya bisa menghasilkan banyak desain busana yang keren dan unik. ‘’Itu bisa dieksplor sebanyak-banyaknya. Itu yang bisa diulik dari sisi desain,’’ kata Phillip.

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI