Trending
Ketika Kehamilan Datang Tanpa Diminta: Sunyi, Stigma, dan Ruang #SamaSamaAman yang Mesti Kita Ciptakan
Perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan kerap menghadapi penolakan, stigma, dan kekerasan. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ajak publik wujudkan #SamaSamaAman.
Vania Rossa
Dewiku.com - Malam itu, staf admin di Rumah Ruth menerima pesan WhatsApp yang membuatnya tercekat. Di layar ponselnya, sebuah pesan singkat dari seorang remaja perempuan muncul dengan nada yang mengguncang: ia hamil satu setengah bulan, dan di tangannya telah tersedia sebungkus racun tikus.
“Kalau pesan ini nggak dibalas, saya minum,” tulisnya.
Tak ada kalimat panjang, tak ada penjelasan apa pun. Hanya ultimatum yang lahir dari ketakutan yang sudah mencapai titik puncak. Staf Rumah Ruth pun membalas secepat mungkin. Bukan dengan paragraf panjang, bukan dengan nasihat, hanya satu kata: “iya.”
Sederhana. Tapi seperti kata Devi Sumarno, pendiri Rumah Ruth, “Kadang kata ‘iya’ itu bisa jadi jembatan antara hidup dan mati.”
Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan bahwa ini bukan pertama kalinya ia menerima pesan seputus asa itu.
“Dan bukan yang terakhir.”
Sunyi yang Dipikul Perempuan Saat Dua Garis Merah Terlalu Cepat Datang
Tak ada perempuan yang tumbuh besar membayangkan suatu hari harus bersembunyi di kamar sempit, mematikan notifikasi ponsel, atau berbohong kepada keluarga hanya karena dua garis merah yang muncul terlalu cepat. Tak ada yang membayangkan hidupnya akan berubah dalam semalam, bukan oleh kehamilan itu sendiri, tetapi oleh ketakutan tentang bagaimana dunia akan memandangnya.
Dalam banyak kasus kehamilan tak diinginkan (KTD), kekerasan justru datang dari lingkar terdekat: keluarga yang memarahi, pacar yang menghilang, tetangga yang berbisik-bisik, hingga sekolah yang menganggap kehamilan sebagai noda. Stigma yang dilemparkan pada perempuan, terutama yang masih remaja, kerap lebih pedih daripada kenyataan fisiologis kehamilan itu sendiri.
Catahu Komnas Perempuan 2024 mencatat peningkatan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sebesar 14,17 persen. Sebagian besar terjadi di ranah privat—ruang yang seharusnya melindungi, bukan melukai. Dan kekerasan hari ini tidak hanya berupa pukulan atau pengusiran; Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) kini menghantui hidup perempuan dalam bentuk doxing, ancaman, penyebaran foto, atau pemerasan yang dilakukan melalui layar ponsel.
Baca Juga
Akses Layanan Kesehatan Kelas Dunia, Kini Lebih Dekat untuk Keluarga Indonesia
Regenerative Beauty: Tren Baru yang Bikin Kulit Glowing Alami Tanpa Kesan 'Diisi'
Career Minimalism: Ketika Gen Z Memilih Bahagia, Bukan Hanya Berkarier
Ada Tablet Tambah Darah di Menu MBG, Upayakan Penurunan Angka Stunting di Indonesia
Berkilau di Laboratorium: 4 Perempuan Peneliti Pemenang L'Oreal-UNESCO For Women in Science 2025
Bukan Sejuk, Hujan di Jakarta Mengandung Mikroplastik yang Berbahaya bagi Kesehatan Maupun Lingkungan
Di tengah minimnya perlindungan negara, masyarakat bergerak sendiri membangun inisiatif seperti AwasKBGO oleh SafeNet dan TaskForceKBGO—dua gerakan yang bekerja tanpa sorotan memadai, tapi terus menyelamatkan perempuan dari ancaman yang tidak terlihat.
Karena itu, kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2025 mengangkat tema global UNiTE to End Digital Violence against All Women and Girls. Sebuah pengingat bahwa kekerasan, baik yang muncul dari gawai maupun dari stigma sosial, selalu punya akar yang sama: ketidaksetaraan.
Ketakutan yang Mencekik: Bukan pada Kehamilan, Tetapi pada Dunia yang Menghakimi
Devi Sumarno tahu betul betapa besar keberanian yang dibutuhkan seorang perempuan sebelum menekan tombol “kirim” untuk meminta pertolongan.
“Untuk bisa nge-WA kami saja, mereka itu sudah mengumpulkan keberanian luar biasa,” ujarnya kepada Dewiku.com.
Salah satu kisah yang terus menghantuinya berasal dari perempuan muda yang merasa seluruh masa depannya runtuh hanya karena satu keputusan impulsif di masa remaja. Ia bercerita bahwa setiap malam ia sulit tidur karena membayangkan kemungkinan diusir dari rumah, kehilangan sekolah, atau diserbu komentar jahat dari orang-orang yang bahkan tidak mengenalnya.
“Kadang stigma itu belum terjadi, tapi mereka sudah percaya duluan kalau hidup mereka akan hancur,” kata Devi.
Ketakutan itu tumbuh dari norma sosial yang menempatkan kehormatan keluarga—atau lebih tepatnya, kontrol atas tubuh perempuan—di atas keselamatan dan kesehatan mental sang perempuan itu sendiri.
Stigma yang Mengurung, Bukan Melindungi
Selama 15 tahun, Rumah Ruth telah menjadi tempat singgah bagi lebih dari 650 perempuan, menyaksikan lebih dari 600 bayi lahir ke dunia. Namun angka itu tidak pernah menjadi sekadar statistik. Di baliknya ada cerita tentang ayah yang memukul, ibu yang membuang pakaian anaknya ke depan rumah, guru yang mengancam mengeluarkan murid dari sekolah, atau tetangga yang menyebarkan gosip seolah-olah kehamilan adalah kutukan.
“Ada daerah yang percaya aib itu bisa menular. Ada yang keluarganya diusir satu kampung,” kata Devi.
“Banyak yang takut bicara karena orang tuanya pejabat, tokoh agama, atau dikenal sangat religius,” lanjutnya lagi.
Lebih menyayat hati lagi, sebagian dari mereka bukan sekadar “kehilangan kendali” atas hidupnya, tetapi korban kekerasan: kekerasan dalam pacaran, online grooming, penipuan relasi digital, incest oleh orang dekat, hingga hubungan yang memanfaatkan kerentanan penyandang disabilitas intelektual.
Yang paling kecil yang pernah ditangani Rumah Ruth? Seorang anak berusia 11 tahun!
“Tahun ini paling banyak kasus disabilitas. Biasanya satu atau dua, sekarang sudah lebih dari enam,” kata Devi dengan nada getir.

Ketika Sistem Belum Cukup Hadir
Rasa pedih itu semakin dalam ketika Devi menceritakan bagaimana negara—yang seharusnya menjadi pelindung utama—belum mampu menyediakan ruang aman yang memadai bagi para perempuan ini.
Rumah singgah pemerintah memang ada, tetapi fasilitasnya terbatas. Di beberapa daerah, rumah singgah hanya dapat menampung dua minggu, kapasitasnya kecil, dan tidak memiliki layanan khusus untuk perempuan hamil.
“Misalnya di Jawa Barat, kapasitasnya hanya tiga puluh bayi,” ujar Devi.
Alhasil, banyak kasus akhirnya dikirim ke Rumah Ruth, bukan karena lembaga itu yang paling besar, tetapi karena memang tidak ada pilihan lain. Ruang aman yang seharusnya menjadi kewajiban negara justru muncul dari inisiatif masyarakat—dibangun dengan solidaritas, bukan struktur birokrasi.
Setidaknya, ada tiga pendampingan utama yang dilakukan Rumah Ruth, yang saat ini berlokasi di Bandung dan Bali.
Pertama, pemeriksaan kehamilan, termasuk kesehatan reproduksi, kolaborasi dengan rumah sakit dan NGO. Berikutnya, pendampingan psikologis, mulai dari konseling individu hingga kelompok. Dan terakhir, pendampingan sosial, misal jika ada proses kepolisian, urusan PPA, hingga rekonsiliasi keluarga.
Luka yang Tidak Terlihat
Dalam proses pendampingan, Devi menyadari bahwa yang dihadapi para perempuan ini tidak hanya kehamilan yang datang tiba-tiba, tetapi juga luka-luka lama yang tak pernah disembuhkan. Ada yang sejak kecil hidup dalam keluarga toksik, ada yang pernah dilecehkan oleh anggota keluarga sendiri, ada pula yang kehilangan rasa percaya diri karena relasi pacaran yang manipulatif.
“Yang paling susah itu kalau mereka masih bucin,” kata Devi sambil tertawa kecil, mencoba menghadirkan sedikit cahaya di tengah cerita yang begitu gelap.
“Apa pun nasihatnya, nggak masuk,” katanya.
Namun ia juga percaya bahwa keterikatan emosional semacam itu bukan akhir dari segalanya.
“Katanya bucin itu cuma dua tahun. Jadi masih ada harapan,” lanjutnya.
Saat Dukungan Nyata Berarti Lebih dari Solusi

Ketika berbicara tentang peran masyarakat dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan, kita sering menganggap diri sendiri terlalu kecil, terlalu jauh, atau tidak memiliki kapasitas. Namun, kenyataan yang Devi lihat setiap hari menunjukkan hal sebaliknya.
Perempuan-perempuan dengan KTD tidak selalu butuh jawaban, petuah, atau kritik. Yang mereka butuhkan adalah seseorang yang berani mengatakan, “Aku ada di sisimu.”
Teman yang bersedia menemani ke dokter.
Tetangga yang tidak menghakimi.
Guru yang mengutamakan keselamatan murid daripada reputasi sekolah.
Kerabat yang mau mendengarkan tanpa memberi label.
Dalam banyak kasus, kehadiran semacam ini bisa menjadi penentu hidup-mati—secara harfiah.
16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Saatnya Kita Semua Mengambil Bagian
Tahun ini, kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengingatkan kita bahwa kekerasan tidak selalu datang dalam bentuk pukulan atau bentakan. Ia bisa hadir dalam notifikasi ponsel yang menakutkan, dalam komentar yang merendahkan, dalam gosip yang menyebar tanpa kendali, atau dalam pintu rumah yang ditutup rapat untuk seorang anak perempuan yang sedang ketakutan.
Kekerasan adalah masalah sosial yang hanya bisa berhenti jika semua orang memilih untuk bertindak. Media, sekolah, keluarga, pemerintah, komunitas, dan kita sebagai individu—semuanya berperan.
Setiap perempuan berhak merasa aman.
Setiap perempuan berhak meminta pertolongan tanpa dihukum.
Setiap perempuan berhak menjalani kehamilan—baik yang direncanakan maupun tidak—tanpa kekerasan.
Karena tidak ada perempuan yang seharusnya berjuang sendirian. Dan karena tidak ada kehamilan yang pantas dibayar dengan kehilangan martabat, masa depan, atau nyawa








