Ragam
Saatnya Hentikan Stigma: Baju Terbuka Bukan Alasan Untuk Melecehkan Perempuan
Pakaian bukan alasan untuk pembenaran pelecehan seksual.
Vania Rossa

Dewiku.com - Seringkali kita masih mendengar komentar yang menyalahkan korban pelecehan seksual karena baju terbuka yang mereka kenakan.
Padahal, berpakaian terbuka bukanlah undangan untuk dilecehkan, melainkan hak pribadi setiap perempuan atas tubuhnya sendiri.
Baca Juga
Menangis Bukan Tanda Perempuan Lemah, Tapi Caranya Melepas Lelah dan Memulihkan Diri
Rekomendasi Lagu Hindia Terbaik, Liriknya Cocok Buat yang Lagi Galau
7 Destinasi Wajib di Raja Ampat, Surga Tersembunyi di Timur Indonesia
Hidup Tanpa Menikah? Kenapa Tidak! Merayakan Keberanian Perempuan dalam Menentukan Jalan Sendiri
Kenapa Perempuan Sering Overthinking dan Overloving? Terlalu Banyak Mikir, Terlalu Banyak Sayang
Antara Sayang dan Saing: Dinamika Kakak Adik Perempuan
Stigma ini tak hanya merugikan korban, tetapi juga melanggengkan budaya victim blaming yang sudah seharusnya dihentikan.
Sudah waktunya masyarakat memahami bahwa pelecehan adalah masalah perilaku pelaku, bukan soal pakaian korban.
Isu di mana pakaian perempuan dan persepsi publik terhadap tubuh mereka kembali mencuat setelah serangkaian insiden pelecehan yang viral di media sosial.
Tak Ada Alasan Untuk Membenarkan Pelecehan
Sering kali, perempuan yang menjadi korban justru disalahkan karena dianggap mengenakan pakaian "terlalu terbuka",
Mereka juga dianggap “mengundang” pelecehan karena mengenakan pakaian yang dinilai terlalu terbuka.
Pola pikir ini mencerminkan budaya patriarki yang masih mengakar kuat di banyak masyarakat, termasuk di Indonesia.
Namun sudah banyak ditegaskan oleh beberapa ahli dan aktivis, pakaian bukanlah undangan.
Tidak ada jenis pakaian yang dapat dijadikan pembenaran atas tindakan pelecehan atau kekerasan seksual.
Jessica Taylor, seorang psikolog forensik dan penulis buku Why Women Are Blamed For Everything, menegaskan bahwa apapun yang dikenakan seseorang, bukanlah bentuk persetujuan.
“Persetujuan tidak pernah tersirat dari apa yang dikenakan seseorang. Pakaian bukanlah persetujuan,” ujarnya.
Persepsi negatif terhadap perempuan yang berpakaian terbuka sering kali lebih dipengaruhi oleh stereotip gender dan norma sosial yang sempit daripada oleh maksud sebenarnya dari si pemakai.
Dalam banyak kasus, masyarakat cenderung menghakimi moralitas seseorang berdasarkan penampilan luar tanpa memahami konteks pribadi atau alasan individu di balik pilihan pakaian mereka.
Tubuh Perempuan Adalah Milik Mereka Sendiri
Melansir dari The New York Times, ditegaskan bahwa tubuh perempuan bukan konsumsi publik, meskipun terlihat di ruang publik.
“Saya memakai baju crop top bukan untuk mengundang siapa pun. Saya memakainya karena nyaman dan saya menyukai bentuk tubuh saya,” kata Emily Ratajkowski, model dan penulis buku My Body.
Hal tersebut mencerminkan suara banyak perempuan yang merasa berhak atas tubuh dan cara mereka mengekspresikannya.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang berpikir sebaliknya, tidak sedikit warganet yang dengan mudah melontarkan komentar seksis dan menyudutkan perempuan berdasarkan pakaian yang dikenakan.
Kita hidup dalam budaya yang telah terbiasa mengobjektifikasi tubuh perempuan, lalu secara ironis menyalahkan mereka karena menjadi objek.
Hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputuskan jika tidak ada perubahan paradigma secara kolektif.
Di Indonesia, kampanye seperti #TubuhkuOtoritasku dan #NoExcuseForAbuse mulai mendapat tempat di kalangan generasi muda.
Kampanye-kampanye ini menekankan pentingnya penghormatan terhadap otonomi tubuh perempuan dan bahwa tidak ada alasan yang dapat membenarkan kekerasan seksual.
Meski demikian, tantangan masih besar, perubahan pola pikir yang telah tertanam sejak lama membutuhkan edukasi, empati, dan kesadaran sosial secara terus-menerus.
Maka dari itu, kita perlu berhenti mengajarkan anak perempuan untuk menghindari kekerasan dengan cara menyesuaikan pakaian atau sikap mereka.
Sebaliknya, penting untuk mulai mendidik anak laki-laki agar menghormati orang lain, memahami konsep persetujuan, dan tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun.
Pendidikan kesetaraan gender sejak dini sangat krusial dalam membentuk masyarakat yang lebih adil dan aman.
Pesan ini sangat penting, tanggung jawab tidak boleh dibebankan kepada perempuan untuk “berpakaian sopan” demi menghindari pelecehan.
Yang harus diubah adalah cara masyarakat memandang tubuh perempuan, serta memperkuat pendidikan tentang persetujuan dan penghormatan terhadap sesama.
Tubuh perempuan adalah milik mereka sendiri, bukan milik publik dan tidak ada pakaian, sependek atau seterbuka apa pun, yang bisa dijadikan alasan untuk melanggar batas dan hak pribadi seseorang.
(Mauri Pertiwi)