Ragam

Kenapa Perempuan Sering Overthinking dan Overloving? Terlalu Banyak Mikir, Terlalu Banyak Sayang

Diam-diam, keduanya bisa menyedot energi, menyesakkan batin, dan perlahan meninggalkan luka emosional yang tidak terlihat.

Vania Rossa

Ilustrasi overthinking. (Unsplash/Ben White)
Ilustrasi overthinking. (Unsplash/Ben White)

Dewiku.com - Pernah merasa kepalamu seperti tak bisa berhenti berpikir? Atau mencintai seseorang begitu dalam sampai lupa cara mencintai diri sendiri? Jika iya, kamu mungkin mengalami dua hal ini: overthinking dan overloving, seperti banyak perempuan lainnya.

Dua hal yang sepintas tampak sebagai bentuk kasih sayang dan kepedulian. Tapi diam-diam, keduanya bisa menyedot energi, menyesakkan batin, dan perlahan meninggalkan luka emosional yang tidak terlihat.

Overthinking: Saat Pikiran Tak Pernah Benar-Benar Diam

Overthinking bukan sekadar kebiasaan berpikir terlalu banyak—ia adalah kelelahan mental yang tersembunyi.

Kita terus memutar ulang percakapan di kepala, mengupas setiap detail, menganalisis hal kecil secara berlebihan, hingga membayangkan skenario terburuk dari sesuatu yang belum tentu terjadi.

Pikiran terasa sibuk tanpa henti, bahkan saat tubuh tampak diam.

Amy Morin, LCSW, seorang psikoterapis dan penulis buku 13 Things Mentally Strong People Don’t Do, menjelaskan bahwa kesadaran diri merupakan langkah pertama untuk keluar dari siklus overthinking.

“Kesadaran adalah langkah pertama untuk mengakhiri pemikiran yang berlebihan. Ketika Anda menyadari bahwa Anda mengulang-ulang kejadian dalam pikiran Anda atau mengkhawatirkan hal-hal yang tidak dapat Anda kendalikan, ketahuilah bahwa pikiran Anda tidak produktif,” ujarnya.

Perempuan, secara kultural, sering diposisikan sebagai penjaga emosi dalam keluarga. Kita terbiasa menjadi penengah, peredam konflik, dan perawat perasaan orang lain.

Maka, tidak heran jika kita kerap merasa perlu memikirkan semuanya secara mendetail takut salah, takut menyakiti, takut dianggap tidak peduli, dan egois.

Padahal, overthinking tak membuat kita lebih berhati-hati atau bijaksana. Justru sebaliknya, ia menambah beban mental, membuat kita sulit mengambil keputusan, dan merasa bersalah terus-menerus.

Overloving, Cinta Tanpa Batas Namun Tanpa Arah

Sekilas, overloving terdengar manis dan mulia. Tapi ketika kebahagiaan orang lain terus ditempatkan di atas kebutuhan diri sendiri, itu bukan lagi cinta yang sehat — melainkan tanda mulai kehilangan jati diri.

Menurut Dr. Erin Leonard, psikoterapis keluarga, overloving adalah bentuk cinta yang berlebihan dan tak seimbang.

“Kalau Anda terlalu mencintai, Anda bisa kehilangan diri sendiri. Fokus Anda hanya pada orang lain, sementara kebutuhan pribadi terabaikan,” jelasnya.

Tak jarang, perempuan sejak kecil dibentuk untuk selalu memberi, berkorban, dan mengalah demi harmoni. Seolah cinta tanpa batas adalah keharusan.

Padahal, siapa bilang mencintai berarti harus selalu mengorbankan diri?

Cinta yang sehat justru melibatkan keseimbangan antara memberi dan menerima, antara perhatian dan batasan, antara pasangan dan diri sendiri.

Sayangnya, banyak perempuan tumbuh dengan perkataan seperti “mengalah itu baik” atau “menjadi perempuan harus bisa menahan diri”.

Tanpa sadar, hal ini membentuk pola pikir yang membuat kita merasa harus memikul semuanya sendiri.

Selain itu, melansir The Guardian, mereka menyoroti bagaimana perempuan pascamelahirkan kerap dilanda pemikiran intrusif memikirkan hal-hal buruk yang belum tentu terjadi, hingga kehilangan rasa percaya diri sebagai seorang ibu.

Saatnya Memberi Ruang Untuk Diri Sendiri

Dalam menghadapi overthinking, beri batasan untuk pikiran yang berkelana. Sisihkan waktu khusus untuk memikirkan kekhawatiranmu, tapi jangan biarkan ia mengambil alih seluruh harimu.

Begitu pula dengan overloving. Mulailah dari pertanyaan sederhana: “Apa yang aku butuhkan hari ini?” Ini bukan tanda egois, melainkan bentuk self-care yang sehat.

Mencintai orang lain memang penting, tapi mencintai diri sendiri adalah pondasi utamanya. Tanpa itu, cinta yang kita berikan pun bisa kehilangan arah.

Ingat, kamu berhak merasa tenang. Kamu layak dicintai, termasuk oleh dirimu sendiri. Kamu berhak menjalani hidup sesuai pilihanmu, bukan sekadar memenuhi ekspektasi orang lain.

Belajarlah mencintai diri lebih dulu, karena dari sanalah cinta sejati untuk orang lain akan tumbuh dengan tulus dan utuh.

(Mauri Pertiwi)

Berita Terkait

Berita Terkini