Dewiku.com - Bagi sebagian orang tua, membesarkan anak kerap dipandang layaknya menanam modal jangka panjang—dengan harapan kelak sang anak akan "mengembalikan" segala jerih payah, biaya, dan pengorbanan yang telah dikeluarkan.
Narasi semacam ini masih kerap ditemui di berbagai lapisan masyarakat, baik secara tersirat maupun terang-terangan, lewat ungkapan seperti "nanti kalau sudah sukses jangan lupa orang tua" atau "orang tua capek-capek biayain sekolah supaya anak bisa balas budi."
Baca Juga
Mengenal Endometriosis: Rintangan Perempuan Menuju Kehamilan
Upgrade Diri Tanpa Drama: Bertumbuh dengan Ritme yang Kamu Pilih
Adventure Parenting: Cara Membesarkan Anak Pemberani dan Tangguh di Era Digital
Kebaya Comeback! Dari Warisan Budaya ke Panggung Self-Expression Perempuan Muda
Antara Sayang dan Saing: Dinamika Kakak Adik Perempuan
Beban Tak Kasat Mata di Pundak Anak: Saat Kasih Sayang Tergantikan Harapan Balas Budi
Pola pikir ini perlahan membentuk pola asuh yang menempatkan anak sebagai "aset" keluarga, bukan sebagai individu utuh dengan hak dan pilihannya sendiri.
Lalu, seperti apa dampaknya terhadap tumbuh kembang anak? Apakah benar anak "lahir untuk membayar utang"?
Bukan Hanya di Indonesia
Narasi ini tidak muncul begitu saja. Dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil, mahalnya biaya pendidikan, dan kurangnya jaminan sosial, banyak orang tua melihat anak sebagai jaminan masa depan.
Anak menjadi representasi kerja keras orang tua yang diharapkan akan membalas budi, baik secara materil maupun emosional.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia atau Asia, melainkan juga menjadi sorotan di wacana global.
Dr. Laura Markham, seorang psikolog perkembangan anak dari University of California, mengatakan ketika anak-anak dibesarkan dengan keyakinan bahwa harga diri mereka bersyarat, hal ini dapat merusak ketahanan emosional mereka.
Pernyataan ini menyoroti dampak psikologis dari pola asuh yang bersifat transaksional, anak yang tumbuh dalam ekspektasi untuk membalas jasa bisa mengalami tekanan emosional yang tinggi, merasa tidak cukup baik, atau bahkan kehilangan arah dalam membangun identitasnya sendiri.
Hal senada juga disampaikan oleh Elisabeth Young-Bruehl, psikoanalisa dan penulis buku Childism: Confronting Prejudice Against Children, yang mengkritik praktik-praktik pengasuhan yang menjadikan anak sebagai sarana pemenuhan ambisi orang tua.
“Anak menjadi sarana, bukan tujuan alat bagi ambisi orang tua yang belum terwujud,” ujarnya.
Narasi ini sering kali dikemas secara halus dengan embel-embel cinta dan pengorbanan, yang pada intinya, anak diarahkan untuk menjadi “hasil” dari investasi orang tua, bukan individu merdeka yang didukung untuk menemukan jalannya sendiri.
Di tengah tuntutan hidup dan tekanan sosial yang semakin tinggi, wajar jika orang tua berharap yang terbaik untuk anaknya.
Namun, penting untuk membedakan antara mendampingi anak dan menggiring anak, mengasuh dengan cinta tanpa syarat adalah kunci untuk membangun hubungan yang sehat antara kedua orang tua dan anak.
Mengubah pemikiran seperti ini bukan perkara mudah, karena ia sudah tertanam dalam budaya dan struktur sosial di masyarakat.
Tapi dengan refleksi dan kesadaran, orang tua bisa mulai menata ulang tujuan pengasuhan, bukan untuk membentuk anak sebagai pengembalian modal, tetapi sebagai manusia yang tumbuh utuh, bebas, dan berdaya.
Pada akhirnya, bukan soal apa yang bisa anak “kembalikan”, melainkan bagaimana kita mendukung mereka menjadi versi terbaik dirinya tanpa syarat dan tanpa paksaan apapun.
Biarkan mereka memilih jalannya sendiri untuk kebahagiaan dan juga hidup mereka.
(Mauri Pertiwi)