Ragam

Beban Tak Kasat Mata di Pundak Anak: Saat Kasih Sayang Tergantikan Harapan Balas Budi

Dalam konteks ekonomi yang makin menekan, muncul narasi lain yang tak kalah kuat: anak sebagai investasi.

Vania Rossa

Ilustrasi Orang Tua dan Anak. (Suara.com/Ema Rohimah)
Ilustrasi Orang Tua dan Anak. (Suara.com/Ema Rohimah)

Dewiku.com - Di banyak budaya, anak dianggap sebagai anugerah, titipan Tuhan, dan harapan masa depan. Kalimat seperti “anak adalah rezeki” atau “buah hati” menjadi narasi yang menguatkan nilai kasih sayang dalam hubungan orang tua dan anak.

Namun dalam praktik sehari-hari, terutama dalam konteks ekonomi yang makin menekan, muncul narasi lain yang tak kalah kuat: anak sebagai investasi.

Meski tak selalu diungkapkan secara eksplisit, gagasan ini muncul dalam berbagai bentuk — dari ungkapan klise seperti “Nanti kamu juga akan sadar, semua ini demi kamu” hingga tekanan tersirat agar anak “membalas” pengorbanan orang tua dengan prestasi, pekerjaan mapan, atau dukungan finansial di masa tua.

Sayangnya, narasi ini sering kali menggeser esensi pengasuhan: dari hubungan kasih sayang yang tulus, menjadi relasi transaksional yang sarat ekspektasi.

Anak Sebagai Investasi: Realitas Sosial yang Tak Bisa Diabaikan

Dalam kondisi ekonomi yang serba tidak pasti, biaya pendidikan yang tinggi, dan minimnya jaminan sosial untuk lansia, banyak keluarga tidak punya pilihan selain melihat anak sebagai penopang masa depan.

Orang tua berharap, jerih payah mereka akan “kembali” dalam bentuk materi—anak sukses, memiliki pekerjaan bagus, dan bisa menanggung balik kebutuhan orang tua.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia atau Asia, melainkan juga menjadi sorotan di wacana global.

Dr. Laura Markham, seorang psikolog perkembangan anak dari University of California, mengatakan ketika anak-anak dibesarkan dengan keyakinan bahwa harga diri mereka bersyarat, hal ini dapat merusak ketahanan emosional mereka.

Pernyataan ini menyoroti dampak psikologis dari pola asuh yang bersifat transaksional, di mana anak yang tumbuh dalam ekspektasi untuk membalas jasa bisa mengalami tekanan emosional yang tinggi, merasa tidak cukup baik, atau bahkan kehilangan arah dalam membangun identitasnya sendiri.

Hal senada juga disampaikan oleh Elisabeth Young-Bruehl, psikoanalisa dan penulis buku Childism: Confronting Prejudice Against Children, yang mengkritik praktik-praktik pengasuhan yang menjadikan anak sebagai sarana pemenuhan ambisi orang tua.

“Anak menjadi sarana, bukan tujuan alat bagi ambisi orang tua yang belum terwujud,” ujarnya.

Narasi ini sering kali dikemas secara halus dengan embel-embel cinta dan pengorbanan, yang pada intinya, anak diarahkan untuk menjadi “hasil” dari investasi orang tua, bukan individu merdeka yang didukung untuk menemukan jalannya sendiri.

Menumbuhkan Harapan, Bukan Menanam Ekspektasi

Di tengah tuntutan hidup dan tekanan sosial yang semakin tinggi, wajar jika orang tua berharap yang terbaik untuk anaknya.

Namun, penting untuk membedakan antara mendampingi anak dan menggiring anak, mengasuh dengan cinta tanpa syarat adalah kunci untuk membangun hubungan yang sehat antara kedua orang tua dan anak.

Idealnya, anak dibesarkan dengan kasih sayang, bukan dengan narasi pengorbanan yang dibebankan kembali.

Mendidik anak memang butuh perjuangan, tetapi ketika dilakukan dengan cinta yang tulus dan tanpa syarat, hasilnya akan jauh lebih bernilai—tidak selalu dalam bentuk materi, tetapi dalam hubungan yang sehat, hangat, dan saling menghargai.

Mengubah pemikiran seperti ini bukan perkara mudah, karena ia sudah tertanam dalam budaya dan struktur sosial di masyarakat.

Tapi dengan refleksi dan kesadaran, orang tua bisa mulai menata ulang tujuan pengasuhan, bukan untuk membentuk anak sebagai pengembalian modal, tetapi sebagai manusia yang tumbuh utuh, bebas, dan berdaya.

Pada akhirnya, bukan soal apa yang bisa anak “kembalikan”, melainkan bagaimana kita mendukung mereka menjadi versi terbaik dirinya tanpa syarat dan tanpa paksaan apapun.

(Mauri Pertiwi)

Berita Terkait

Berita Terkini