Ragam
Kebaikan yang Diwajibkan: Perempuan dan Ekspektasi Sosial yang Membentuknya
Sejak kecil, banyak perempuan dibesarkan dengan satu pesan utama: jadilah baik. Tapi definisi "kebaikan" yang diajarkan sering kali tidak netral.
Vania Rossa

Dewiku.com - Sejak kecil, banyak perempuan dibesarkan dengan satu pesan utama: jadilah baik. Tapi definisi "kebaikan" yang diajarkan sering kali tidak netral. Baik berarti mengalah, mengerti, sabar, peduli, dan selalu menempatkan kebutuhan orang lain di atas dirinya sendiri. Baik berarti tidak marah, tidak menuntut, dan tidak bersuara terlalu keras.
Di balik pesan ini tersimpan ekspektasi sosial yang sudah sangat terinternalisasi: bahwa perempuan harus menjadi penopang emosi, pengatur rumah tangga, penjaga harmoni, bahkan di lingkungan kerja profesional sekalipun.
Baca Juga
Sering Overthinking atau Menjauh Saat Didekati? Kenali 4 Attachment Style dalam Hubungan Perempuan
Solusi Rambut Sehat dan Berkilau dengan Naturica, Wajib Coba!
Vulnerable atau Oversharing? Menakar Batas Cerita Perempuan di Dunia Maya
Saatnya Berbagi Tugas di Dapur, Karena Memasak Bukan Hanya Tanggung Jawab Perempuan
Lajang dan Bahagia: Cara Perempuan Menikmati Hidup Tanpa Tekanan Sosial
Paternity Leave Bukan Sekadar Cuti, Tapi Wujud Budaya Kerja yang Inklusif
Dalam banyak keluarga, anak perempuan diberi tanggung jawab emosional yang lebih besar dibanding anak laki-laki. Mereka diminta memahami suasana hati orang tua, menjaga adik, menenangkan konflik.
Sementara anak laki-laki sering diberi ruang lebih luas untuk mengekspresikan diri dan memprioritaskan keinginannya, perempuan diajari untuk bertenggang rasa.
Hal ini tidak berhenti di rumah. Di sekolah, perempuan yang vokal sering dicap cerewet. Perempuan yang tegas dianggap galak. Sebaliknya, mereka yang lemah lembut dan penurut diberi pujian.
Seolah-olah nilai seseorang terletak pada kemampuannya menyesuaikan diri, bukan pada integritas atau potensi kritisnya.
Fenomena ini bukan hanya sekadar stereotip sosial, melainkan sebuah bagian dari proses sosialiasi yang mendalam yang membentuk identitas perempuan dalam masyarakat.
Dididik untuk Mengutamakan Orang Lain
Melansir Psychology Today, perempuan sering diajarkan sejak dini untuk menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan mereka sendiri, dan memenuhi ekspektasi sosial tentang kebaikan yang harus mereka lakukan.
“Sejak kecil, perempuan diajarkan bahwa peran mereka adalah untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Ini bukan hanya terjadi dalam konteks keluarga, tetapi juga dalam interaksi sosial mereka dan tempat kerja,” ujar Dr. Jennifer L. E. Ahn, seorang psikolog klinis.
Pembentukan peran ini tidak hanya menciptakan rasa tanggung jawab, tetapi juga tekanan untuk selalu mendahulukan orang lain, terkadang sampai mengorbankan kesejahteraan diri mereka sendiri.
Konsep pengorbanan ini sering kali muncul dalam dinamika keluarga, di mana perempuan, terutama ibu, sering kali dipandang sebagai sumber utama pengorbanan emosional dan fisik untuk keluarganya.
Namun, ekspektasi ini meluas ke ranah sosial yang lebih luas, termasuk di tempat kerja dan dalam pertemanan.
Dalam laporan The Guardian, bahwa perempuan yang berusaha memenuhi harapan orang lain sering kali merasa terjebak dalam peran sebagai 'penolong' yang harus selalu siap memberikan lebih.
"Perempuan diajarkan untuk berkorban dalam banyak aspek kehidupan mereka, sering kali tanpa mendapatkan dukungan yang seimbang," jelas Dr. Ahn.
Ia menambahkan, bahwa meskipun pengorbanan itu tampak mulia, dampaknya terhadap kesehatan mental perempuan bisa merusak kesehatannya sendiri dalam jangka panjang.
Dampak psikologis dari pengorbanan berlebihan ini tidak bisa dianggap remeh. Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Social and Personal Relationships menemukan bahwa perempuan yang terlalu banyak berkorban cenderung mengalami stres tinggi, kelelahan emosional, dan bahkan depresi.
Ketidakseimbangan dalam memberi dan menerima menciptakan rasa keletihan dan ketidakpuasan yang mendalam, yang akhirnya dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik mereka.
Dalam kasus yang ekstrem, perempuan dapat merasa bahwa kebahagiaan mereka bergantung pada kemampuan untuk memenuhi ekspektasi orang lain, bukan pada pemenuhan kebutuhan pribadi mereka sendiri.
Sosialisasi menjadi sangat penting untuk menciptakan pola di mana perempuan merasa bahwa mereka harus berkorban demi orang lain, bahkan jika itu berarti mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraan mereka sendiri.
Meskipun pengorbanan itu bisa memperkuat hubungan sosial dan memperlihatkan empati, jika dilakukan secara berlebihan, hal ini bisa menyebabkan ketidakseimbangan yang merugikan dalam kehidupan perempuan.
Perempuan yang terus-menerus memberi tanpa menerima dukungan yang setara bisa mengalami kelelahan emosional, yang berdampak pada kehidupan pribadi dan profesional mereka.
Agar perempuan bisa mempertahankan keseimbangan antara memberi dan menerima, penting bagi mereka untuk belajar menetapkan batasan yang sehat.
Dengan mengajarkan perempuan untuk merawat diri mereka sendiri dan belajar untuk menolak, adalah langkah penting menuju kesejahteraan yang lebih baik.
Perempuan juga harus diberi ruang untuk mengakui dan memenuhi kebutuhan mereka sendiri, bukan hanya memenuhi tuntutan orang lain.
Dengan cara ini, perempuan dapat menjaga kesejahteraan mental dan emosional mereka, yang pada gilirannya meningkatkan kualitas hidup mereka.
Meskipun pengorbanan bisa menjadi tindakan yang penuh kasih, sangat penting untuk mengevaluasi bagaimana sosialisasi budaya membentuk pandangan kita tentang kebaikan dan pengorbanan dalam konteks gender.
Menghargai perempuan tidak hanya berarti mengagumi pengorbanan mereka, tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk merawat diri mereka sendiri, menjaga keseimbangan hidup, dan menjalani kehidupan yang utuh dan memuaskan.
(Mauri Pertiwi)