Ragam

Vulnerable atau Oversharing? Menakar Batas Cerita Perempuan di Dunia Maya

Berbagi pengalaman hidup yang otentik memang bisa menciptakan kedekatan emosional dan membantu proses penyembuhan.

Vania Rossa

Ilustrasi oversharing di media sosial. (Unsplash/Erik Lucatero)
Ilustrasi oversharing di media sosial. (Unsplash/Erik Lucatero)

Dewiku.com - Di era media sosial, semakin banyak orang yang membagikan cerita pribadi mereka, mulai dari kisah perjuangan hidup, pengalaman traumatis, hingga perjalanan kesehatan mental, unggahan-unggahan ini sering dipuji sebagai bentuk keberanian dan kejujuran.

Namun, di tengah gelombang keterbukaan ini, muncul pertanyaan penting, di mana batas antara menjadi rentan secara tulus (vulnerable) dan terlalu banyak berbagi (oversharing)?

Melansir Psychology Today, vulnerability adalah tindakan membuka diri secara emosional dengan kesadaran penuh, biasanya terjadi dalam hubungan yang aman dan suportif.

Berbagi pengalaman hidup yang otentik memang bisa menciptakan kedekatan emosional dan membantu proses penyembuhan.

Namun, perbedaan antara rentan secara sehat dan terlalu banyak memberikan informasi sangat penting untuk dipahami.

“Kerentanan bukanlah berbagi secara berlebihan, tetapi berbagi dengan orang-orang yang telah mendapatkan hak untuk mendengar cerita Anda,” ujar Brené Brown seorang penulis dan peneliti yang banyak membahas soal kerentanan.

Dalam hal ini, kerentanan bukanlah tentang mengungkapkan segalanya kepada publik, tetapi tentang membagikan sesuatu kepada orang-orang yang bisa dipercaya dan mampu memberikan ruang yang aman.

Di sisi lain, oversharing sering kali dipicu oleh kebutuhan akan validasi eksternal, baik itu dalam bentuk dukungan, perhatian, atau pengakuan sosial.

The Guardian menyoroti fenomena ini, ketika media sosial menjadi panggung utama, cerita personal berisiko berubah menjadi komoditas yang dikonsumsi massa.

Dr. Julie Smith, seorang psikolog klinis asal Inggris, menjelaskan bahwa ada garis tipis antara ekspresi dan eksploitasi.

Ketika seseorang merasa bahwa satu-satunya cara untuk dilihat dan dihargai adalah dengan membuka luka secara publik, maka keterbukaan itu bisa berubah menjadi tekanan.

Hal ini kerap dirasakan oleh perempuan, yang secara sosial sering didorong untuk tampil rentan agar dianggap autentik atau relatable.

Risiko dari oversharing tidak kecil mulai dari pelecehan daring, distorsi narasi pribadi, hingga rasa penyesalan di kemudian hari, semuanya bisa muncul ketika batas antara publik dan pribadi menjadi kabur.

Di sinilah pentingnya kesadaran akan batas dan rasa aman dalam berbagi.

Kerentanan yang sehat justru menekankan pentingnya memilah dan memilih, tidak semua cerita harus dibagikan ke dunia maya.

Ada kekuatan dalam menyimpan sebagian kisah untuk diri sendiri atau orang-orang terdekat. Keberanian bukan hanya soal berbicara lantang, tetapi juga soal tahu kapan harus diam dan dalam membangun budaya digital yang sehat adalah tanggung jawab kolektif.

Kita perlu menciptakan ruang yang empatik, di mana perempuan tidak ditekan untuk selalu membuka luka, tetapi diberdayakan untuk berbagi sesuai kenyamanan mereka.

Dengan begitu, media sosial bisa menjadi tempat yang mendukung penyembuhan, bukan malah memperburuk luka.

(Mauri Pertiwi)

Berita Terkait

Berita Terkini