Ragam
Body Positivity vs Body Neutrality: Mana Jalan Terbaik Menerima Tubuh Apa Adanya?
Di balik semangat yang positif, banyak orang mulai bertanya-tanya: apakah mungkin mencintai tubuh setiap saat?
Vania Rossa

Dewiku.com - Selama lebih dari satu dekade, kampanye body positivity telah membawa angin segar dalam cara kita memandang tubuh. Gerakan ini lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap standar kecantikan yang sempit dan sering kali tidak realistis. Ia mengajak kita untuk mencintai tubuh dalam segala bentuknya—apapun ukuran, warna kulit, hingga kondisi fisiknya.
Dari media sosial hingga iklan brand ternama, ajakan untuk menerima dan mencintai diri sendiri kini terdengar lebih lantang dibanding sebelumnya. Namun, di balik semangat yang positif, banyak orang mulai bertanya-tanya: apakah mungkin mencintai tubuh setiap saat?
Baca Juga
Wujud Kesetaraan di Dunia Transportasi, Kartini Masa Kini di Balik Kemudi
Melangkah Sendiri, Merdeka Sepenuhnya: Kenapa Perempuan Pilih Solo Traveling?
Koneksi Bukan Kompetisi: The Real Power of Women Supporting Women
Kapan Nikah? Nggak Perlu Baper, Ini Cara Elegan Hadapi Pertanyaan Sensitif
Simping Era: Kenapa Sekarang Banyak Perempuan Bangga Jadi Fangirl?
Resting Nice Face: Topeng Senyum yang Menyembunyikan Luka Emosional Perempuan
Di sinilah muncul pendekatan baru yang lebih lembut dan membumi: body neutrality.
Dari Mencintai ke Menghargai
Berbeda dengan body positivity yang menekankan cinta terhadap tubuh, body neutrality menawarkan pendekatan yang lebih tenang. Ia mengajak kita untuk menghargai tubuh berdasarkan fungsinya, bukan penampilannya. Dengan kata lain, kita tidak harus selalu merasa cantik atau menarik untuk bisa memperlakukan tubuh dengan baik.
“Body neutrality tidak menuntut kita untuk terus positif. Kita bisa tidak suka dengan tubuh hari ini, tapi tetap bersikap hormat dan penuh perhatian terhadapnya,” ujar Dr. Renee Engeln, psikolog dan penulis buku Beauty Sick. Ia menyoroti bahwa tuntutan untuk selalu mencintai tubuh justru bisa menimbulkan rasa bersalah saat seseorang merasa sebaliknya.
Bagi sebagian orang—terutama mereka yang sedang berjuang dengan citra tubuh atau pernah mengalami gangguan makan—body neutrality dianggap sebagai pendekatan yang lebih realistis dan penuh belas kasih.
Menurut Alexis Conason, psikolog klinis sekaligus pendiri The Anti-Diet Plan, body neutrality mengajarkan kita untuk membangun hubungan yang sehat dengan tubuh tanpa tekanan emosional. Misalnya, saat kita merasa tidak nyaman dengan bentuk perut, pendekatan ini menyarankan kita untuk mengingat fungsinya: mencerna makanan, memberi energi, menopang kehidupan.
Ini adalah bentuk penghargaan yang tidak selalu harus dilandasi rasa cinta atau kebanggaan. Cukup dengan rasa hormat dan kesadaran bahwa tubuh telah bekerja keras untuk kita setiap hari.
Bukan Kompetisi, Tapi Kolaborasi
Tentu saja, ini bukan berarti body positivity tak lagi relevan. Gerakan ini punya peran penting dalam mendorong inklusivitas, terutama di ruang-ruang publik seperti media dan industri fashion. Kampanye body positivity telah memberikan tempat bagi mereka yang sebelumnya tidak pernah merasa “cukup”—cukup langsing, cukup tinggi, cukup putih, cukup sempurna.
Namun dalam kehidupan sehari-hari, saat kita merasa lelah atau kurang percaya diri, body neutrality menawarkan ruang untuk beristirahat dari tuntutan untuk selalu merasa baik-baik saja. Ia memberi ruang aman untuk sekadar “ada”, tanpa penilaian.
Yang perlu diingat: kedua pendekatan ini tidak saling bertentangan. Justru keduanya bisa saling melengkapi. Di hari-hari ketika kita merasa kuat dan penuh rasa percaya diri, body positivity bisa menjadi bentuk ekspresi dan pemberdayaan diri. Namun di saat-saat rentan, ketika mencintai tubuh terasa berat, body neutrality bisa menjadi bentuk kebaikan dan kelembutan pada diri sendiri.
Membangun Hubungan Damai dengan Tubuh
Pada akhirnya, pertanyaan yang paling penting bukanlah “mana yang lebih baik?” melainkan “bagaimana kita bisa membangun hubungan yang sehat dengan tubuh sendiri?”
Tubuh yang sama yang telah menemani kita melewati banyak hal—dari luka, kelelahan, kehilangan, hingga kemenangan kecil yang sering tak terlihat. Ia pantas dihargai, entah dalam bentuk cinta yang besar, atau sekadar sikap netral yang hangat.
Karena menerima tubuh apa adanya bukanlah garis akhir. Ia adalah proses panjang yang penuh rasa, dan kita bebas memilih jalan mana yang paling sesuai—positif, netral, atau keduanya.
(Imelda Rosalina)