Ragam

Nggak Semua Support Itu Sehat: Bedain Dukungan Tulus vs Toxic Positivity!

Pernah dapet semangat dari teman tapi malah makin tertekan? Hati-hati, bisa jadi itu toxic positivity. Yuk kenali bedanya sama dukungan tulus biar mental tetap sehat!

Vania Rossa | Natasya Regina Melati

Ilustrasi toxic positivity (Freepik/freepik)
Ilustrasi toxic positivity (Freepik/freepik)

Dewiku.com - Pernah nggak sih kamu lagi ngerasa nggak baik-baik aja, tapi respon orang di sekitarmu malah bikin makin sesak? Bisa jadi itu bukan bentuk support yang sehat, tapi toxic positivity.

Meski terdengar positif, nyatanya bisa berdampak negatif, apalagi kalau datangnya dari circle cewek terdekatmu.

Saat kamu lagi curhat soal beban hidup dan malah dibalas dengan, “Kamu harusnya bersyukur, masih banyak yang lebih susah dari kamu,” itu terdengar familiar kan?

Padahal, meskipun niatnya baik, ucapan kayak gini bisa membuatmu merasa diabaikan. Bukan salah kamu kalau jadi makin merasa sendirian.

Karena faktanya, setiap orang berhak merasa sedih, kecewa, atau marah. Emosi bukan untuk ditekan, tapi untuk dipahami. Bayangin deh, kamu cuma pengen didengar, tapi malah diminta kuat terus—padahal kuat juga ada batasnya.

Nah, setelah ini kita bakal bahas lebih lanjut soal perbedaan dukungan yang sehat dan toxic positivity, termasuk ciri-cirinya dan gimana cara menghindarinya. Siap lebih sayang sama diri sendiri?

Ciri-Ciri Toxic Positivity

1. Menolak Emosi Negatif

Kalau kamu sedih, marah, atau kecewa, lalu langsung dibilang, “Udah sih, jangan dipikirin,” itu tanda klasik toxic positivity. Padahal, perasaan negatif itu manusiawi dan kadang memang perlu dirasakan.

2. Meremehkan Perasaan Orang Lain

Ucapan seperti “Masih mending kamu…” atau “Bersyukur aja, bisa lebih parah, lho,” seringkali terdengar seperti empati, tapi sebenarnya bisa membuat orang lain merasa tidak dimengerti.

3. Memaksakan Optimisme

Toxic positivity bikin orang merasa harus selalu terlihat bahagia dan semangat, padahal hatinya sedang capek. Ini bisa menciptakan jurang antara emosi asli dan ekspresi luar yang terpaksa dibuat senyum terus.

4. Menghindari Obrolan Sulit

Daripada membahas masalah sebenarnya, toxic positivity justru memilih ‘menutupi’ dengan kalimat positif seperti, “Pasti ada hikmahnya kok,” alih-alih membantu mencari solusi.

5. Menekan Emosi

Karena terlalu sering diminta kuat, kamu jadi terbiasa menyembunyikan kesedihan. Lama-lama ini bisa bikin kamu kehilangan koneksi sama diri sendiri dan malah berujung cemas atau stres berat.

6. Merasa Bersalah Saat Merasa Sedih

Kalau kamu mulai berpikir, “Aku nggak boleh sedih, harus tetap senyum,” padahal hatimu hancur, itu salah satu dampak toxic positivity. Kamu jadi merasa bersalah hanya karena jadi manusia biasa yang merasa lelah.

7. Pura-Pura Baik-Baik Saja

Kamu tersenyum, tapi hati rasanya hampa. Toxic positivity bikin kamu takut jujur soal perasaan, akhirnya kamu jadi nggak autentik dan makin merasa sendirian.

8. Solusi yang Terlalu Simpel

Setiap masalah itu kompleks, tapi toxic positivity suka datang dengan solusi instan kayak, “Move on aja!” atau “Positive vibes only!” Padahal, kadang yang dibutuhkan cuma teman yang mau dengerin.

9. Menolak Realita yang Sulit

Toxic positivity juga bisa bikin kamu denial sama kenyataan. Akhirnya bukan menyelesaikan masalah, tapi malah lari dari kenyataan yang seharusnya dihadapi.

10. Merasa Terasing

Karena terlalu sering menyimpan semuanya sendiri, kamu jadi merasa jauh dari orang lain. Padahal, membuka diri dan jujur sama perasaan justru bisa mempererat koneksi.

Cara Menghindari dan Menyikapi Toxic Positivity

Positif itu perlu, tapi bukan berarti semua harus ditutupi dengan senyuman. Optimisme yang sehat adalah yang tetap memberi ruang untuk merasakan sedih dan kecewa.

  • Dengerin tanpa nge-judge

Saat temanmu curhat, cukup dengarkan. Validasi perasaan mereka dengan kalimat kayak, “Aku ngerti, itu pasti berat.”

  • Berhenti langsung kasih solusi

Kadang, orang cuma butuh didengar. Tahan dulu untuk kasih saran. Tanyakan dulu, “Mau didengar aja atau kamu butuh saran?”

  • Jangan langsung cari ‘hikmah’

Kalimat seperti “Semua pasti ada hikmahnya” memang niatnya baik, tapi bisa terasa nyebelin kalau belum waktunya. Fokus dulu pada perasaan yang dirasakan.

  • Jujur di media sosial

Nggak harus selalu tampil sempurna. Kadang, jujur soal struggling-mu justru bisa membuka ruang obrolan yang lebih tulus dan mendalam.

Support yang sehat itu bukan tentang selalu bilang 'semangat' atau 'kamu kuat kok', tapi tentang memberi ruang untuk jujur dan merasa. Karena setiap emosi itu valid, dan kamu berhak merasakannya tanpa harus merasa bersalah.

Berita Terkait

Berita Terkini