Ragam
Ketika Perempuan Memilih Diam: Strategi Bertahan atau Bentuk Perlawanan?
Di banyak ruang, baik domestik maupun publik, perempuan masih sering kali menghadapi batasan. Dibatasi untuk berbicara, diatur bagaimana bersikap, bahkan dipaksa untuk diam ketika mengalami kekerasan atau ketidakadilan.
Vania Rossa

Dewiku.com - Dalam budaya yang masih kerap menempatkan perempuan pada posisi subordinat, diam sering kali dianggap sebagai tanda kelemahan, ketakutan, atau kepasrahan. Namun, benarkah keheningan perempuan selalu berarti ketundukan? Ataukah justru ada kekuatan tersembunyi dalam pilihan untuk tidak bersuara?
Di banyak ruang, baik domestik maupun publik, perempuan masih sering kali menghadapi batasan. Dibatasi untuk berbicara, diatur bagaimana bersikap, bahkan dipaksa untuk diam ketika mengalami kekerasan atau ketidakadilan.
Baca Juga
Vulnerable atau Oversharing? Menakar Batas Cerita Perempuan di Dunia Maya
Support System Seumur Hidup: Bagaimana Kakak Adik Perempuan Saling Menguatkan?
Saatnya Berbagi Tugas di Dapur, Karena Memasak Bukan Hanya Tanggung Jawab Perempuan
Lajang dan Bahagia: Cara Perempuan Menikmati Hidup Tanpa Tekanan Sosial
Paternity Leave Bukan Sekadar Cuti, Tapi Wujud Budaya Kerja yang Inklusif
Body Positivity vs Body Neutrality: Mana Jalan Terbaik Menerima Tubuh Apa Adanya?
Diam yang seperti ini tidak selalu lahir dari ketidakmampuan, melainkan kadang merupakan strategi bertahan dalam sistem yang belum berpihak.
Bahkan dalam banyak kasus, keheningan justru merupakan bentuk perlawanan paling tajam yang bisa mereka dilakukan.
Fenomena ini muncul dalam berbagai bentuk dari diamnya para korban kekerasan seksual, hingga keengganan perempuan untuk bersuara soal ketidakadilan di tempat kerja.
Diam sebagai Mekanisme Perlindungan Diri
Bagi sebagian perempuan, diam adalah strategi bertahan hidup, bukan karena mereka tidak ingin bersuara. Melainkan karena berbicara justru bisa mendatangkan risiko baru, baik secara psikologis maupun sosial.
Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, misalnya, banyak perempuan memilih diam bukan karena tidak ingin berbicara, melainkan karena takut terhadap konsekuensinya.
Mereka khawatir akan keselamatan diri dan anak-anaknya, takut tidak dipercaya, atau bahkan takut dikucilkan oleh lingkungan sekitar. Dalam konteks ini, diam adalah cara untuk bertahan hidup dalam situasi yang tidak ideal.
Melansir Psychology Today, banyak perempuan memilih menyimpan pengalaman mereka dalam diam karena realita bahwa berbicara bisa berujung pada stigma, pelecehan lanjutan, bahkan kehilangan pekerjaan atau hubungan sosial.
Dalam laporan The Guardian, seorang eksekutif perempuan dari industri teknologi mengaku dipecat setelah melaporkan pelecehan yang ia alami.
Saat ia memilih untuk tidak diam, konsekuensinya adalah kehilangan pekerjaannya.
Namun jika ia terus diam, ia merasa akan kehilangan dirinya sendiri, ia menambahkan bahwa banyak koleganya yang memilih untuk tetap diam demi mempertahankan karier dan reputasi mereka.
Hal Ini menunjukkan dilema nyata yang dihadapi banyak perempuan antara berbicara dan menghadapi konsekuensi, atau diam dan menanggung luka dalam kesendirian.
Diamnya perempuan tidak bisa serta-merta dimaknai sebagai bentuk penerimaan terhadap ketidakadilan.
Justru, dalam banyak konteks, keheningan itu adalah bahasa perlawanan cara untuk menolak memvalidasi norma-norma sosial yang menindas dan tidak adil.
Ini merupakan bentuk penolakan terhadap struktur dan sistem yang selama ini mendiskriminasi dan menekan suara perempuan.
Namun, penting juga untuk tidak meromantisasi keheningan, diam bisa berakar dari trauma mendalam dari rasa takut, malu, dan ketiadaan ruang aman untuk bersuara.
“Diam sering kali merupakan strategi bertahan hidup. Dalam trauma, tidak berbicara bisa menjadi satu-satunya cara untuk tetap aman,” ujar Dr. Jennifer Freyd, profesor psikologi dari University of Oregon.
Ketika Diam Menjadi Ruang untuk Menyusun Kekuatan
Namun, di sisi lain, diam juga bisa menjadi bentuk perlawanan yang halus namun tajam. Dalam hubungan yang tidak setara, menolak untuk menjawab, menolak untuk menuruti, atau tidak ikut serta dalam percakapan yang menindas bisa menjadi tindakan pasif-agresif yang menyimpan makna perlawanan.
Dalam dunia sastra dan sejarah, kita melihat banyak contoh perempuan yang memilih diam sebagai simbol keteguhan. Diamnya Siti Nurbaya bukan karena ia tidak tahu melawan, melainkan karena ia terjebak dalam sistem patriarki yang mengekang.
Diamnya para buruh perempuan dalam mogok kerja bisa menjadi bentuk perlawanan kolektif yang kuat—karena dalam diam mereka, produksi bisa berhenti.
Bagi sebagian perempuan, diam adalah ruang untuk memulihkan diri, menyusun strategi, dan membangun kekuatan. Ia bukan titik akhir, tapi jeda sebelum melangkah.
Dalam diam, seorang ibu bisa belajar keterampilan baru secara daring untuk mandiri secara finansial. Dalam diam, seorang remaja perempuan bisa merumuskan mimpi yang belum pernah ia ucapkan sebelumnya.
Diam juga bisa menjadi bentuk kendali atas tubuh dan suara sendiri. Di tengah dunia yang ramai dan sering kali memaksa perempuan untuk "menjelaskan diri", memilih untuk diam bisa menjadi pernyataan bahwa mereka berhak atas ruang pribadi, tanpa harus selalu memberi penjelasan kepada siapa pun.
Tidak semua perempuan ingin bicara, dan itu bukan berarti mereka tidak punya suara. Kadang, suara itu hadir dalam tindakan, dalam ekspresi, atau justru dalam keheningan yang menggetarkan.
Yang perlu kita lakukan sebagai masyarakat adalah belajar mendengarkan diam, karena di balik keheningan itu, bisa jadi tersimpan cerita, luka, kekuatan, bahkan bentuk perlawanan yang tidak kalah keras dari teriakan.
Jadi, ketika perempuan memilih diam, jangan buru-buru menilainya lemah atau pasrah. Bisa jadi, ia sedang merajut kekuatan. Bisa jadi, ia sedang melawan.
(Mauri Pertiwi)