Ragam
Awas Quiet Cutting: Cara Halus Kantor Bikin Perempuan Resign Tanpa Dipaksa?
Fenomena quiet cutting makin marak di kantor-kantor, diam-diam bikin perempuan pekerja tertekan hingga memilih resign. Yuk, kenali tanda-tandanya dan cara menghadapinya!
Vania Rossa

Dewiku.com - Lingkungan kerja ideal seharusnya jadi tempat berkembang, belajar, dan merasa dihargai. Sayangnya, tidak semua cerita di kantor berjalan seindah itu.
Akhir-akhir ini, muncul istilah baru bernama quiet cutting — praktik diam-diam perusahaan "mendorong" karyawannya untuk resign tanpa harus mengucapkan kalimat pemecatan secara langsung.
Baca Juga
Keluarga Cemara Hadir di Panggung Teater, Sajikan Kisah Hangat untuk Libur Sekolah
FOMO Belanja Online: Buru-Buru Check Out Karena Takut Ketinggalan, Bukan Karena Butuh?
Realita Cewek: Kenapa Lemari Penuh Tapi Rasanya Tetap Nggak Punya Baju?
Filter Fatigue: Tuntutan Flawless di Medsos yang Diam-Diam Bikin Cewek Stres
Kalau Kamu Tokoh Drakor, Berdasarkan Zodiak Kamu Jadi Siapa?
OOTD Alyssa Daguise: Bukti Real Kalau Cantik Itu Nggak Harus Dandan All Out!
Yang lebih miris, banyak perempuan pekerja justru jadi korban paling rentan dari strategi halus ini.
Apa Itu Quiet Cutting?
Ini adalah cara halus perusahaan “menyingkirkan” karyawan tanpa harus melalui proses pemecatan resmi.
Biasanya dilakukan dengan cara memindahkan pegawai ke posisi yang dianggap kurang penting, memotong akses ke proyek-proyek strategis, atau membatasi ruang geraknya di kantor.
Akibatnya? Karyawan, terutama perempuan, merasa frustasi, kehilangan motivasi, dan akhirnya resign atas inisiatif sendiri.
Ya, miris memang, mengingat perempuan sering jadi target utama quiet cutting. Hal ini karena masih ada aja anggapan di sebagian tempat kerja bahwa perempuan lebih ‘nrimo’, jarang melawan, dan nggak mau ribut soal posisi atau tugas baru.
Padahal, cara ini bukan cuma bikin ilfeel, tapi bisa ngaruh banget ke kepercayaan diri dan kesehatan mental mereka.
Nggak jarang perempuan pekerja jadi ragu sama kemampuannya sendiri. “Aku yang nggak cukup kompeten, ya?”, “Jangan-jangan aku emang nggak dibutuhin lagi di kantor ini?”
Padahal, sebenarnya, bukan mereka yang salah, tapi sistemnya yang toxic.
Beberapa komunitas pekerja perempuan pun mulai angkat suara. Mereka berbagi pengalaman, curhat soal rasanya "dipinggirkan" secara halus lewat grup diskusi atau forum online.
Harapannya? Biar perusahaan makin sadar dan mau buka ruang dialog terbuka, bukan malah main strategi quiet cutting yang bikin orang tertekan diam-diam.
Sayangnya, banyak korban quiet cutting nggak sadar kalau mereka lagi jadi target. Jadi, penting banget buat kamu tahu tanda-tandanya:
- Tiba-tiba dipindah ke divisi yang nggak sesuai kemampuan.
- Dikasih tugas yang kurang jelas atau nggak ada hubungannya sama jobdesc awal.
- Dicopot dari proyek besar tanpa alasan jelas.
- Ruang diskusi dan feedback mendadak tertutup.
- Mulai nggak diajak rapat penting atau brainstorming tim.
Kalau kamu ngerasain beberapa hal di atas, jangan langsung menyalahkan diri sendiri. Bisa jadi kamu lagi "ditempatkan" dalam strategi ini.
Lalu, gimana caranya biar nggak terjebak dalam situasi ini?
1. Speak up!
Berani bicara ke atasan atau HR soal ketidakjelasan posisi dan tugas kamu. Cari tahu alasannya secara terbuka.
2. Bangun support system.
Ngobrol sama rekan kerja atau komunitas profesional perempuan. Jangan merasa sendirian.
3. Upgrade skill
Kalau memang situasi udah nggak sehat, nggak ada salahnya mulai cari peluang baru. Skill tambahan bisa jadi modal pindah ke tempat yang lebih menghargai.
4. Dokumentasikan semuanya
Simpan bukti email, notulensi rapat, atau dokumen tugas yang menunjukkan perubahan-perubahan aneh di jobdesc kamu. Bisa berguna kalau kamu mau lapor ke HR atau mau negosiasi di tempat baru nanti.
Perusahaan pun harusnya peka. Di era yang makin menuntut budaya kerja inklusif, quiet cutting jelas bukan solusi jangka panjang.
Perusahaan perlu membangun komunikasi terbuka, memberikan ruang berkembang untuk semua karyawan — terutama perempuan — dan menghindari praktik-praktik yang justru bisa bikin citra mereka jatuh.
Karena, gimana pun, karyawan adalah aset utama perusahaan. Saat perempuan di tempat kerja merasa dihargai dan dilibatkan penuh, loyalitas dan produktivitas mereka pasti jauh lebih tinggi.
Sebaliknya, kalau quiet cutting dibiarkan, bukan cuma mereka yang rugi—perusahaan juga kehilangan talenta hebatnya secara perlahan.
Jadi, buat para perempuan pekerja: jangan takut speak up, jangan ragu cari tempat yang lebih menghargai kamu. Ingat, kamu pantas berkembang di tempat yang sehat, bukan malah ditekan diam-diam sampai mundur sendiri.
(Imelda Rosalina)