Trending
Ketika Cum Laude Makin Gampang Dicapai, Prestasi Nyata atau Efek 'Inflasi Nilai'?
IPK makin tinggi, cum laude jadi hal biasa. Tapi, apakah ini pertanda kualitas lulusan makin baik, atau cuma efek inflasi nilai di kampus zaman sekarang?
Vania Rossa

Dewiku.com - Di era pendidikan tinggi yang semakin fleksibel dan digital, gelar cum laude bukan lagi prestasi langka. Rata-rata IPK nasional kini menyentuh angka 3,59 — angka yang dulu hanya dicapai oleh segelintir mahasiswa kini jadi standar umum.
Tapi kondisi ini justru memunculkan tanda tanya: apakah lulusan sekarang memang makin pintar, atau kampus makin ‘murah hati’ memberi nilai?
Baca Juga
Cewek Nggak Wajib Menikah Umur 30! Ini Kata Yuki Kato yang Bisa Jadi Pegangan Hati Kamu
Tren Manifesting: Cara Halus Cewek Gen Z Ngatur Semesta Biar Nurut
Dibilang Hebat, Tapi Malah Nolak? Itu Bukan Rendah Hati, Tapi Imposter Syndrome
Film dan Series Netflix yang Bikin Cewek Mikir, Nangis, Terinspirasi: Pokoknya Harus Nonton!
Solo Dating: Tren Baru Cewek Kota Jalan Sendiri ke Kafe, Bioskop, dan Staycation, Berani Coba?
Nggak Ribut, Nggak Pamer, Tapi Tetap Menarik! 6 Ciri Quiet Confidence yang Jarang Disadari
Fenomena grade inflation atau inflasi nilai ini pun jadi sorotan, karena bisa memengaruhi makna sejati dari sebuah pencapaian akademik.
Gara-gara ‘inflasi’ IPK ini, sampai muncul anggapan jika sekarang jadi lebih mudah dapat IPK cum laude yang dulunya untuk bisa mencapai IPK 3,0 saja sudah terasa luar biasa.
Hal ini pun memicu keraguan di mata akademisi dan pihak perusahaan. Pertanyaannya, apa sih sebab kemunculan fenomena ini? Yuk, kita bahas lebih lanjut.
Fenomena ‘Inflasi’ IPK di Indonesia
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) untuk lulusan sarjana di Indonesia baru-baru ini mencapai angka rata-rata nasional 3,59 pada tahun 2024. Bisa dibilang angka ini relatif tinggi karena sudah melampaui batas minimal predikat cum laude yang berada di standar 3,51.
Jika ingin membandingkan, coba saja mundur pada dekade 1990-an di mana era itu nilai IPK yang dianggap baik berada di angka 2,8. Berbeda dengan saat ini yang mana IPK di atas 3,5 sudah menjadi standar baru.
Tren tersebut bahkan terjadi di banyak kampus berdasar catatan Kementerian Pendidikan, baik di kampus negeri maupun swasta. Nggak melulu salah mahasiswa, sih, sebab bisa jadi mereka hanya korban dari sistem.
Kalau mau dibedah lebih dalam, sebenarnya fenomena cum laude zaman now muncul bukannya tanpa pengaruh eksternal. Salah satunya pengaruhi kebijakan kampus dan sistem pendidikan yang relatif fleksibel.
Mulai dari perubahan kurikulum, digitalisasi pembelajaran, hingga orientasi kampus yang semakin menekankan pada pencapaian nilai tinggi sebagai bagian dari akreditasi institusi. Mahasiswa pun mengikuti alur akademis ini dan mulai berorientasi pada angka semata.
Di sisi lain, dosen juga didorong untuk membantu mahasiswa lulus tepat waktu, termasuk memberikan toleransi penilaian yang lebih tinggi dibandingkan era sebelumnya. Hal ini merupakan imbas dari kebijakan kampus yang mengejar akreditasi demi nama besar.
IPK Tinggi Memicu Perdebatan
Di sisi lain, fenomena IPK tinggi malah memicu perdebatan. Cukup banyak orang yang mulai mempertanyakan apakah kondisi ini bisa dianggap sebagai cerminan dari peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi atau justru dampak dari ‘inflasi nilai’.
Mencuatnya perdebatan ini gak bisa sepenuhnya disalahkan mengingat kondisi saat ini dihadapkan pada lahirnya banyak mahasiswa cum laude. Alih-alih bangga, akademisi justru menyoroti pada dampak eksplisit di mana predikat masa kini berpotensi kehilangan nilai pembeda.
Khususnya statement dari para akademisi yang semakin lantang menekankan aspek objektivitas penilaian yang harus terus dijaga.
Bukan tanpa alasan, hal ini ditekankan demi makna sebuah gelar akademik dan kredibilitas di dunia kerja nantinya.
Terlepas dari perdebatan yang ada, tampaknya tuntutan pada mahasiswa zaman now akan semakin tinggi. Bukan hanya harapan mendapat IPK tinggi, tetapi juga pembuktian kualitas pada predikat tersebut.
Terlebih saat memasuki dunia kerja, IPK yang menjadi salah satu ‘filter’ dalam proses rekrutmen harus bisa dipertanggungjawabkan dengan kinerja yang baik juga. Jangan sampai gelar cum laude malah minim skill dan dicap nggak bisa kerja.
Fenomena cum laude yang makin mudah diraih ini seharusnya jadi bahan refleksi, bukan hanya bagi kampus, tapi juga bagi mahasiswa dan dunia kerja. Nilai tinggi memang penting, tapi jangan sampai mengabaikan kualitas sesungguhnya: kemampuan berpikir kritis, etika kerja, dan kesiapan menghadapi tantangan dunia nyata.
Jika tidak disikapi dengan bijak, ‘inflasi nilai’ bisa menggerus makna dari prestasi akademik itu sendiri. Jadi, apakah kamu benar-benar layak disebut cum laude—atau hanya numpang tren IPK zaman now?
(Kontributor: Estika Kusumaningtyas)