Trending
Marak Nikah Muda Lewat Dispensasi, Tanda Bahaya untuk Masa Depan?
Tren nikah muda lewat dispensasi di Semarang terus meningkat. Fenomena ini memicu kekhawatiran soal kesiapan mental, ekonomi, hingga masa depan pasangan muda yang menikah di usia belia.
Vania Rossa | Ayu Ratna

Dewiku.com - Fenomena nikah muda kembali jadi sorotan, terutama di sejumlah daerah seperti Semarang. Data dari Pengadilan Agama Kabupaten Semarang mencatat lonjakan signifikan permintaan dispensasi nikah selama tahun 2022.
Fakta yang diungkap melalui unggahan di media sosial ini langsung menuai perhatian luas, terutama karena sebagian besar pemohon masih berusia belasan tahun.
Dispensasi nikah, meski diatur sebagai pengecualian dalam Undang-Undang, dalam hal ini menjadi “jalan pintas” bagi pasangan belia untuk menikah meski belum mencapai usia legal.
Penyebab dari pernikahan dini ini umumnya didorong oleh kehamilan tidak direncanakan atau tekanan sosial karena pacaran yang dianggap terlalu lama. Hal ini semakin memperlihatkan adanya celah besar dalam edukasi seks, kesehatan reproduksi, dan kesiapan hidup berkeluarga.
Dengan usia pemohon yang sebagian besar masih di bawah 19 tahun, Semarang menghadapi tantangan besar dalam menanggulangi dampak jangka panjang dari tren ini.
Lonjakan Permintaan Dispensasi dan Alasan di Baliknya
Lonjakan angka dispensasi nikah bukan sekadar angka statistik, tetapi mencerminkan kondisi sosial yang mengkhawatirkan.
Sepanjang tahun 2022, Pengadilan Agama Kabupaten Semarang menerima 191 permohonan dispensasi nikah. Dari jumlah tersebut, 176 permohonan dikabulkan, dengan 115 di antaranya disebabkan oleh kehamilan di luar nikah, dan 10 kasus lainnya diajukan oleh remaja yang bahkan sudah melahirkan. Sementara 66 permohonan diajukan karena kekhawatiran akan masa pacaran yang terlalu lama.
Situasi ini mengindikasikan bahwa banyak pasangan muda mengambil keputusan menikah bukan karena kesiapan, melainkan keterpaksaan.
Dalam kondisi ini, pernikahan justru menjadi alat pelarian dari masalah sosial yang lebih besar, bukan sebagai institusi yang siap dijalani secara dewasa dan bertanggung jawab.
Baca Juga
OOTD Liburan Shandy Aulia: Definisi Mama Muda Sultan dengan Gaya yang Memukau!
Musim Panas Paling Penuh Drama! Belly Balik Lagi di The Summer I Turned Pretty Season 3
Komentar Taeyeon SNSD Soal Film K-Pop Demon Hunters Tuai Hujatan: Bukti Susahnya Bersuara Jujur?
Nia Ramadhani Skip Keramas, Cuma Cuci Poni: Tren Cantik Tapi Jorok yang Dimaafkan Netizen?
4 Drakor Populer yang Dibintangi Lee Eun Saem: Dua Drama Lagi On Going!
Drama Politik Jepang: Wali Kota Maki Takubo "Tersandung" Ijazah Palsu, Langsung Mundur!
Mayoritas pemohon berada dalam rentang usia 15 hingga 19 tahun, dengan latar belakang pendidikan yang didominasi lulusan SMP dan kondisi ekonomi yang belum stabil. Banyak di antara mereka belum memiliki pekerjaan tetap, sehingga memulai rumah tangga dalam keadaan rentan secara finansial.
Kondisi ini berpotensi menjadi akar dari masalah yang lebih besar seperti angka perceraian tinggi, konflik rumah tangga, dan tekanan mental yang berdampak pada anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Semarang pun mengingatkan agar masyarakat tidak serta-merta menyamaratakan semua kasus, namun juga tak menutup mata terhadap dampak sosialnya.
Usia Ideal Menikah dan Risiko Pernikahan Dini
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merekomendasikan usia ideal menikah adalah 25 tahun bagi pria dan 21 tahun bagi wanita. Usia ini dianggap sebagai titik ketika seseorang sudah matang secara fisik, emosional, dan finansial untuk membangun rumah tangga yang sehat dan bertahan lama.
Selain rekomendasi resmi, Survei Populix 2025 mencatat bahwa mayoritas Gen Z dan milenial Indonesia menilai usia 25–30 tahun sebagai usia paling ideal untuk menikah.
Hanya 32% responden yang menganggap usia 20–25 tahun masih tepat, dan hampir tidak ada yang memilih menikah di bawah usia 20 tahun. Ini menunjukkan bahwa generasi muda sendiri sebenarnya mulai menyadari pentingnya kematangan dalam berumah tangga.
Namun kenyataannya di lapangan berbeda. Tekanan sosial, budaya, serta minimnya edukasi reproduksi membuat sebagian remaja memilih jalur pernikahan dini, terutama saat dihadapkan pada kehamilan tidak diinginkan. Padahal, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah menetapkan batas usia minimal menikah di Indonesia adalah 19 tahun.
Menikah di bawah usia ini hanya dapat dilakukan melalui dispensasi pengadilan dengan alasan yang sangat kuat. Tapi ketika alasan yang mendasari bukan kesiapan, melainkan krisis, maka kemungkinan besar pernikahan yang dijalani tidak akan harmonis dan rentan berakhir dengan perceraian.
Secara medis, menikah dan hamil di usia dini juga berisiko tinggi. Bagi wanita, risiko komplikasi kehamilan dan persalinan meningkat, ditambah dengan tekanan psikologis dan sosial yang berat. Tak hanya itu, ketidaksiapan mental dan finansial pasangan muda berpotensi menciptakan siklus kemiskinan dan pendidikan rendah bagi generasi berikutnya.