Jangan Normalisasi KDRT! Dampak Fatalnya Bisa Berujung Femisida
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah sesuatu yang layak dianggap remeh.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tak semestinya dianggap sebagai perkara domestik. Bahkan, normalisasi terhadap KRDT dapat menyebabkan terjadinya femisida.
Melansir laman Komnas Perempuan, Rabu (16/10/2024), berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya. Femisida berbeda dengan pembunuhan biasa karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi. Femisida bukanlah kematian sebagaimana umumnya melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis dan terjadi baik di ranah privat, komunitas maupun negara.
KDRT pun bisa menyebabkan femisida. Menurut pegiat hak perempuan, Anindya Joediono, kecenderungan itu dia temuakan selama membela perempuan yang menjadi korban KDRT.
Baca Juga: Pahami 4 Jenis KDRT, Bukan Cuma Kekerasan Fisik
"Ketika kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai hal yang wajar dan tidak mendapatkan penanggulangan yang memadai, hal ini menciptakan iklim di mana kekerasan semakin parah tanpa adanya intervensi yang efektif," kata Anindya saat siaran langsung bersama Instagram Indonesia Hapus Femisida beberapa waktu lalu, dikutip dari Suara.com.
Anindya memaparkan, KDRT yang berujung femisida tak serta merta terjadi dalam semalam. Tindak kekerasan biasanya sudah terjadi secara berkala. Hanya saja, korban tak berani meminta bantuan orang lain, apalagi lapor polisi.
Gejala femisida yang paling mudah terlihat ialah adanya pembiaran terhadap tindak kekerasan dari pasangan. Bahkan ada tudingan kalau korban bersalah sehingga pantas mendapat kekerasan.
Baca Juga: Pelaku KDRT Bisa Berubah? Waspadai 10 Sikap Manipulatif Ini
"Biasanya sebelum jadi ekstrem itu, sudah ada gejala. Ini biasanya, ketika itu masih menjadi kekerasan yang mungkin dianggap kecil, itu diabaikan," kata Anindya.
Selain itu, penting untuk mengetahui dan memahami bahwa jenis KDRT bukan hanya secara fisik. Ada juga kekerasan mental, pelemahan ekonomi, hingga kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Kecenderungan seseorang melakukan KDRT, lanjut Anindya, bisa dianalisa sejak masih pacaran atau belum menikah. Jika sudah berani melakukan kekerasan psikologis, orang tersebut cenderung bakal mengulangi tindakannya saat sidah menikah dan menjadi pelaku KDRT.
"Baru pacaran sudah berani ngatur-ngatur sampai ke hal yang mikro, jangan-jangan nanti waktu nikah akan lebih parah. Dan kejadian, waktu nikah eskalasi jadi kekerasan fisik. Sebelumnya waktu pacaran mungkin masih ke abuse psikologis, ya. Masih berupa verbal, psikologis, menjauhkan dari teman, dari keluarga. Tapi ternyata ketika sudah nikah, naik ke kekerasan fisik," kata Anindra menerangkan.
Lalu, apa yang harus dilakukan jika menjadi korban KDRT atau mengetahui ada orang terdekat yang mengalaminya? Jangan ragu untuk melaporkan pelaku ke polisi. Berikut beberapa hal yang mesti diperhatikan.
1. Unit Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (PPA)
Korban melapor ke Unit PPA di Kepolisian Resor (Polres) setempat. Ketika melapor, bawa bukti kekerasan, seperti rekaman CCTV atau hasil visum.
2. Hasil visum sebagai alat bukti
Jika belum ada hasil visum, pelapor yang sudah sampai ke Polres bakal diarahkan untuk melakukan visum et repertum oleh pihak yang berkompeten di bidangnya. Hasilnya akan menjadi alat bukti untuk mengajukan surat penangkapan serta diajukan ke pengadilan sebagai proses pembuktikan kasus KDRT.
3. Pelapor akan dimintai keterangan sebagai saksi
Sembari menunggu hasil visum keluar, pelapor bakal dimintai keterangan sebagai saksi oleh polisi. Pelapor sebaiknya menjawab sejujur-jujurnya setiap pertanyaan mengenai kondisinya jika dirinya juga sebagai korban. Jika membantu orang lain untuk melapor, segera pertemukan polisi dengan korban supaya korban bisa mendapat perlindungan.
4. Polisi sudah memegang bukti
Jika sudah mengantongi bukti, minimal dua buah bukti seperti hasil rekaman CCTV dan visum, polisi akan segera memproses kasus dan meningkatkan status pelaku menjadi tersangka.
5. Catat nama penyidik
Jangan lupa untuk mencatat nama penyidik. Selain itu, minta nomor yang bisa dihubungi supaya memudahkan dalam melacak perkembangan kasus.
Baca Juga: Korban KDRT Jangan Takut Lapor Polisi! Begini Caranya
Pengaduan kasus KDRT saat ini juga bisa dilakukan ke Komnas Perempuan secara daring online. Dokumen yang diperlukan, baik saat melapor ke polisi maupun Komnas Perempuan adalah identitas diri berupa KTP dan KK, buku nikah, dan siapkan keterangan lengkap mengenai kronologi KDRT yang dilihat atau diterima.
BERITA TERKAIT
Koleksi Raket Tenis Syahrini Bikin Ketar-ketir, Harganya Tembus Ratusan Juta
Minggu, 31 Desember 2023 | 17:00 WIBRahasia Lengan Kencang Yuni Shara di Usia 51 Tahun, Ternyata Cuma Begini
Minggu, 31 Desember 2023 | 12:30 WIB3 Arti Mimpi Acara Pernikahan: Jika Kamu Menikahi Orang yang Tidak Disukai, Maknanya Apa?
Minggu, 31 Desember 2023 | 11:30 WIBTravel Friendly! 5 Rekomendasi Novel Digital Seru untuk Menemani Libur Tahun Baru
Minggu, 31 Desember 2023 | 10:45 WIB6 Arti Mimpi Lamaran, Momen Bahagia yang Tak Selalu Bermakna Indah
Jumat, 29 Desember 2023 | 17:00 WIBIni Pentingnya Cek Biaya Transaksi ATM saat Liburan di Luar Negeri
Jumat, 29 Desember 2023 | 08:00 WIBBERITA TERKINI