Ragam

Body Shaming di Rumah Sendiri: Gendut Disindir, Kurus Dibilang Nggak Sehat!

Body shaming nggak cuma datang dari netizen, tapi juga dari keluarga sendiri. Gendut salah, kurus disindir. Apa iya, ini tanda sayang?

Vania Rossa

Ilustrasi perempuan mengalami body shaming. (Freepik)
Ilustrasi perempuan mengalami body shaming. (Freepik)

Dewiku.com - Katanya rumah adalah tempat paling aman, tempat pulang, tempat diterima apa adanya. Nyatanya? Banyak perempuan mengalami body shaming dan merasa nggak nyaman soal tubuh sendiri... di rumahnya sendiri.

Mulai dari dibilang “gendutan ya sekarang” pas Lebaran, sampai “kok kurusan? Sakit ya?” tiap ketemu tante atau om.

Rasanya serba salah — mau makan takut disindir rakus, diet dikit dibilang sok nggak bersyukur.

Body shaming dari orang terdekat memang bentuk perhatian yang... bikin hati capek. Sampai kapan, sih, standar ganda ini dibiarkan terus terjadi?

Body Policing dari Keluarga Sendiri

Kalimat-kalimat yang mungkin terdengar ringan bagi si pengucap ini sebenarnya adalah bentuk dari body policing, yakni tindakan mengomentari, menilai, bahkan “mengontrol” tubuh orang lain — mulai dari ukuran, bentuk, warna kulit, sampai cara berpakaian.

Ironisnya, body policing yang paling menyakitkan justru sering datang dari lingkungan terdekat: keluarga sendiri.

Dalam banyak kasus, komentar tentang tubuh ini disampaikan dengan niat “baik”. Orang tua atau saudara mungkin merasa sedang menunjukkan perhatian, memberi masukan, atau bahkan memotivasi.

Padahal, efeknya tak sesederhana itu. Seperti dijelaskan oleh psikolog klinis Anastasia Satriyo, M.Psi, komentar negatif soal tubuh — apalagi yang datang dari keluarga — bisa sangat memengaruhi harga diri perempuan, terutama di masa remaja saat identitas diri sedang dibangun.

“Remaja perempuan cenderung membentuk citra tubuh berdasarkan feedback dari lingkungan. Kalau yang mereka dengar terus-menerus adalah komentar negatif, maka kepercayaan diri bisa terganggu hingga dewasa,” jelasnya dalam sebuah diskusi komunitas kesehatan mental.

Body policing dari keluarga juga sering dibungkus narasi budaya. Banyak orang tua percaya perempuan harus langsing supaya cepat dapat jodoh, atau harus berpakaian feminin biar “pantas”.

Sosiolog Dr. Nurul Ilmi Idrus menyebut dalam penelitiannya bahwa tubuh perempuan di Indonesia kerap dianggap sebagai representasi moral dan kehormatan keluarga.

“Tubuh perempuan kerap kali dijadikan simbol kontrol sosial dalam masyarakat patriarkal, dan keluarga merupakan agen utama dalam proses itu,” tulisnya dalam jurnal Gender dan Identitas.

Dari larangan potong rambut pendek, disindir soal jerawat, hingga komentar “nggak feminim” karena pilihan baju — semuanya bukan sekadar opini personal. Ini adalah warisan konstruksi sosial yang diam-diam masih dipelihara dari generasi ke generasi.

Yang menyedihkan, luka dari body policing ini sering nggak kelihatan. Ia muncul diam-diam: keengganan bercermin, rasa malu pakai pakaian tertentu, hingga overthinking tiap mau datang ke acara keluarga.

Banyak perempuan dewasa masih menyimpan suara kecil di kepala: “paha gue kegedean”, “perut harus rata”, “kalau pakai dress ini bakal dikomentarin mama”. Suara ini bukan tiba-tiba muncul, tapi hasil dari komentar masa lalu yang terinternalisasi.

Gangguan Citra Tubuh Seumur Hidup

Menurut studi dari National Eating Disorders Association (NEDA), perempuan yang mengalami internalisasi kritik tubuh seperti ini punya risiko lebih tinggi mengalami depresi, gangguan makan, bahkan gangguan citra tubuh seumur hidup.

Meski begitu, bukan berarti perempuan tak bisa melawan. Salah satu langkah awal adalah menetapkan batasan. Sampaikan ketidaknyamanan dengan sopan namun tegas:

“Aku nggak nyaman kalau kita bahas bentuk tubuh.” Atau bisa juga bilang, “Boleh nggak, obrolannya jangan soal berat badan terus?”

Atau, cukup kasih senyum, angkat piring berisi makananmu, dan pindah ruangan. Karena memilih keluar dari percakapan yang menyudutkan juga bentuk self-love yang penting.

Pada akhirnya, penting untuk diingat: tubuh kita bukan milik publik. Bukan bahan gosip di meja makan, bukan objek komentar tante-tante atau om-om, bukan bahan perbandingan keluarga besar.

Tubuh ini adalah rumah — tempat jiwa bernaung. Dan rumah ini layak dihargai, dijaga, dan dicintai, apa pun bentuk dan ukurannya.

Menerima tubuh sendiri memang bukan proses instan. Ada hari-hari di mana kita berhasil mencintai diri apa adanya, ada pula hari-hari saat komentar lama masih terngiang. Tapi perlahan, batas bisa dibuat, suara hati bisa diperkuat, dan standar lama bisa dilawan. Karena perempuan berhak menentukan sendiri bagaimana tubuhnya ingin dirawat, tanpa diatur — bahkan oleh keluarga sekalipun.

(Imelda Rosalina)

Berita Terkait

Berita Terkini

trending

Gowok: Saat Perempuan Tak Cuma Pasrah di Atas Ranjang

Film Gowok bukan sekadar memamerkan sensualitas, melainkan menyimpan pesan soal perlawanan perempuan atas tubuh, suara, dan ruang yang lama direbut sistem patriarki. Bagaimana perempuan menjadi pelatih di dunia laki-laki?