Ragam
Perempuan, Body Image, dan Standar Cantik: Sampai Kapan Mau Terus Dikejar?
Merasa lelah mengejar standar cantik yang nggak ada habisnya? Yuk, kenali pentingnya menerima body image diri sendiri dan berhenti membandingkan.
Vania Rossa

Dewiku.com - Di era media sosial yang serba visual, tekanan untuk punya “tubuh ideal” terasa makin nyata—khususnya bagi perempuan.
Dari iklan, film, sampai unggahan influencer, standar kecantikan yang sempit terus dipertontonkan: tubuh ramping, kulit cerah, tinggi semampai.
Baca Juga
Pink Flag dalam Hubungan: Nggak Beracun, tapi Bikin Hati Harus Waspada
Tips Berdamai dengan Diri Sendiri di Tengah Tekanan Sosial
Saatnya Hentikan Stigma: Baju Terbuka Bukan Alasan Untuk Melecehkan Perempuan
Menangis Bukan Tanda Perempuan Lemah, Tapi Caranya Melepas Lelah dan Memulihkan Diri
Saat Anak Dianggap Investasi: Potret Pola Asuh Bernuansa Balas Budi
Mengenal Endometriosis: Rintangan Perempuan Menuju Kehamilan
Seolah semua perempuan harus terlihat seperti itu untuk bisa dibilang cantik.
Padahal kenyataannya, bentuk tubuh perempuan jauh lebih beragam dari gambaran sempit yang sering muncul di layar ponsel kita.
Di tengah tuntutan ini, perjalanan untuk menerima bentuk tubuh sendiri jadi perjuangan yang sangat personal, emosional, bahkan melelahkan.
Karena suka nggak suka, hampir semua perempuan pernah merasa nggak nyaman sama tubuhnya sendiri.
Kenapa Body Image Begitu Sulit Diterima?
Perasaan seperti “terlalu gemuk”, “nggak proporsional”, atau “kurang cantik” sering kali muncul bukan karena realita tubuh kita, tapi karena pembandingan sosial.
Setiap kali scroll Instagram atau TikTok, kita secara nggak sadar membandingkan diri dengan perempuan lain yang dianggap punya tubuh “lebih ideal”.
Padahal tubuh manusia itu nggak ada cetakan seragam. Setiap orang punya bentuk tubuh yang unik, dengan perjalanan, pengalaman, dan latar belakang yang beda-beda.
Masalahnya, standar cantik di luar sana sering mengabaikan fakta ini. Akibatnya, banyak perempuan terjebak merasa dirinya “nggak cukup”—nggak cukup langsing, nggak cukup tinggi, nggak cukup glowing.
Mulai Muncul Gerakan Baru: Self-Acceptance dan Body Positivity
Kabar baiknya, semakin banyak perempuan yang mulai bersuara soal pentingnya self-acceptance. Kampanye seperti #BodyPositivity, #SelfLove, atau #RealBody mendorong munculnya ruang-ruang aman di mana perempuan bebas berbicara soal pengalaman tubuh mereka tanpa takut dihakimi.
Figur publik seperti Demi Lovato dan Lizzo di luar negeri, atau Tara Basro dan Eva Celia di Indonesia, terbuka soal perjalanan mereka menerima tubuh sendiri. Pesan mereka jelas: tubuh ini layak dihargai, apa pun bentuk dan ukurannya.
Lewat mereka, kita belajar bahwa menerima tubuh bukan berarti cuek soal kesehatan. Body acceptance adalah soal berdamai dengan bentuk tubuh kita sekarang—sambil tetap merawatnya dengan penuh kasih, bukan paksaan apalagi benci.
Belajar Berdamai dengan Tubuh Sendiri
Nggak ada yang bilang proses ini mudah. Ada hari-hari di mana kita bangun pagi dan merasa nyaman sama tubuh sendiri. Tapi ada juga hari-hari di mana rasa ragu dan nggak percaya diri datang lagi.
Justru di momen-momen itulah pentingnya membangun narasi yang lebih penuh kasih ke diri sendiri.
Alih-alih bilang, “Aku harus kurus supaya cantik,” coba ganti dengan, “Aku mau sehat supaya bisa hidup bahagia dan lama.”
Daripada sebal melihat stretch mark atau selulit, kenapa nggak mulai menganggapnya sebagai bukti tubuh yang kuat dan terus bertahan sejauh ini?
Menerima bentuk tubuh sendiri bukan berarti menyerah. Justru ini adalah langkah pertama untuk hidup lebih sehat, lebih waras, dan lebih damai—tanpa tekanan standar cantik orang lain.
Perjalanan Panjang yang Membebaskan
Perjalanan menerima bentuk tubuh sendiri memang panjang dan nggak selalu mulus. Tapi begitu kamu bisa mencintai tubuh ini apa adanya, rasanya sangat membebaskan.
Kamu nggak lagi terjebak di lingkaran banding-bandingin diri, nggak lagi tertekan untuk selalu “sempurna” di mata orang lain.
Dan lebih dari itu, ketika kamu mulai berdamai dengan tubuhmu, generasi setelah kita—adik, keponakan, anak perempuan—akan tumbuh dengan standar kecantikan yang lebih sehat, lebih inklusif, dan lebih manusiawi.
Karena cantik seharusnya bukan soal ukuran, tapi soal bagaimana kita menghargai diri sendiri.
(Imelda Rosalina)