Ragam
Drama WFH di Era Sosmed: Kerja dari Rumah Tapi Harus Kelihatan Sibuk?
Work from home bukan berarti bebas santai. Di era media sosial, tuntutan untuk selalu terlihat produktif dan estetik justru bikin WFH makin penuh drama.
Vania Rossa

Dewiku.com - Bekerja dari rumah alias work from home (WFH) mestinya jadi momen buat menikmati fleksibilitas dan kenyamanan. Tapi sayangnya, di era media sosial seperti sekarang, ada standar baru yang diam-diam bikin tekanan makin terasa.
Banyak orang merasa harus selalu tampil sibuk, produktif, plus estetik supaya tetap stand out di timeline dan bisa naikin engagement. Mau nggak mau, muncul deh fenomena toxic productivity—kondisi di mana kita terdorong buat terus kerja keras demi memuaskan ekspektasi, entah dari diri sendiri atau dari ‘penonton’ digital di luar sana.
Baca Juga
Mau Dandan Tipis-Tipis Aja? Ini 7 Rekomendasi Lipgloss yang Bikin Bibir Glowing!
Stereotip Cewek Tomboy: Dikira Kuat Terus, Padahal Bisa Lelah Juga
Kenapa Cewek Gen Z Waspada Banget Sama Red Flag di Dating Apps? Ini Alasannya Menurut Pakar
Tipe Cowok Idaman Berdasarkan Zodiak Cewek: Siapa yang Bikin Kamu Kelepek-Kelepek?
Anak Anies Baswedan Dihujat Gegara Dapat Beasiswa LPDB: Emang Nggak Boleh Buat Orang Kaya?
Mager Bukan Malas, Tapi Self Love! Ini Alasan Kamu Perlu Slow Living Sesekali
Di balik konten-konten kece yang pamer rutinitas pagi super teratur, meja kerja minimalis ala Pinterest, kopi buatan sendiri, sampai to-do list harian yang penuh, ada tekanan sosial yang nggak kelihatan. Banyak orang merasa harus terus membuktikan diri biar kelihatan produktif, meski sebenarnya tubuh dan pikiran udah minta istirahat.
Lihat aja tagar #productivevlog, #wfhsetup, atau #adayinmylife—isinya penuh video daily life pekerja dan mahasiswa yang kayaknya semangat banget dari pagi sampai malam. Mulai dari bangun subuh, meditasi, sarapan sehat, kerja tepat waktu, sampai masih sempat olahraga dan baca buku.
Padahal, buat sebagian orang, konten beginian awalnya bikin termotivasi, tapi lama-lama malah bikin diri sendiri ngerasa kurang. “Kok mereka bisa serajin itu ya? Gue harus gitu juga nih,” gitu mungkin pikir kita. Akhirnya tanpa sadar, kita jadi membandingkan diri sama orang lain dan ngerasa harus sama produktifnya.
Bukan cuma soal kerjaan, sekarang estetika juga jadi tuntutan. Mulai dari pencahayaan ruangan, outfit rumahan, sampai makanan pun harus cantik di kamera. Seolah-olah produktif itu wajib kelihatan biar dapat validasi di jagat maya.
Menurut blog Forbes.com, toxic productivity ini bahaya banget karena bisa nyeret kita ke stres dan lelah mental. Parahnya, sering nggak sadar karena kamuflasenya mirip motivasi diri. Kalau motivasi datang dari rasa bersalah karena ‘nggak ngapa-ngapain’ atau pengen tampil keren di medsos, itu tandanya udah toxic.
Tanda-tanda Toxic Productivity:
- Ngerasa bersalah kalau santai sedikit
- Susah nikmatin waktu kosong
- Terobsesi ngerjain to-do list setiap hari
- Sering banding-bandingin diri sama postingan orang
- Ngerasa diri berharga cuma kalau produktif
- Kalau dibiarkan, toxic productivity bisa bikin burnout, gangguan tidur, sampai kualitas hidup yang menurun drastis.
Terus, gimana biar nggak kejebak? Mulai dari mindful scrolling alias kurangi konten yang bikin perbandingan. Bikin batas waktu jelas antara kerja dan istirahat juga penting banget, biar otak dan badan ada waktu rehat.
Fokus ke hal-hal yang benar-benar berarti, bukan cuma sekadar sibuk biar kelihatan aktif. Dan yang nggak kalah penting: sadar kalau istirahat itu bagian dari produktivitas sehat, bukan kemalasan.
Ingat juga, nggak semua harus dipamerin di medsos. Hidup bermakna nggak harus selalu estetik di kamera, kok.
Dengan pola pikir kayak gini, kita bisa bangun hubungan yang lebih sehat sama diri sendiri dan cara kita kerja. Soalnya, produktivitas itu soal irama hidup yang pas—bukan soal seberapa sibuk kamu kelihatan di mata orang lain.
(Sifra Kezia)