Ragam

Selalu Sibuk, Selalu Kuat, Selalu Capek: Nasib Cewek Gen Z di Era Toxic Productivity

Gambaran cewek gen Z yang ingin mengkuti standar masa kini: ngakunya strong girl, padahal aslinya dalam hati mau nangis di kamar!

Vania Rossa

Ilustrasi perempuan sibuk, perempuan capek. (Freepik)
Ilustrasi perempuan sibuk, perempuan capek. (Freepik)

Dewiku.com - “Kerja keras biar sukses, produktif terus biar nggak ketinggalan, jangan lupa glow up juga biar feed Instagram tetap estetik.”

Kira-kira begitulah suara tak kasat mata yang terus bergema di kepala banyak cewek Gen Z hari ini. Rasanya tidur siang sebentar pun bikin dosa, rebahan lima menit langsung dihantui pikiran: “Duh, harusnya bisa ngerjain sesuatu, deh.”

Dalam dunia yang menuntut perempuan muda untuk selalu on, selalu kuat, dan selalu kelihatan bahagia, istirahat seolah jadi barang mewah.

Ironisnya, di balik postingan “You go, girl!” dan story penuh motivasi self-love, nggak sedikit yang diam-diam burnout, cemas, bahkan merasa kosong.

Katanya perempuan zaman sekarang harus serba bisa — karier oke, kulit glowing, hidup aktif, mood stabil — padahal, siapa sih yang kuat terus tanpa jeda?

Toxic Productivity

Dalam era media sosial yang serba cepat dan penuh pencapaian, banyak di antara kita menghadapi tekanan baru: harus selalu terlihat baik-baik saja dan terus produktif.

Fenomena ini dikenal dengan istilah toxic productivity, yaitu dorongan yang berlebihan untuk terus melakukan sesuatu demi merasa “bernilai”, bahkan jika itu mengorbankan kesehatan mental dan fisik.

Di balik unggahan yang tampak sempurna dan caption penuh motivasi, banyak perempuan muda menyimpan rasa lelah, cemas, bahkan kehilangan arah.

Menurut psikolog klinis dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Rika Nurhayati, toxic productivity muncul ketika seseorang merasa bersalah saat tidak melakukan sesuatu yang dianggap “bermanfaat.”

Ia menjelaskan, “Perempuan muda, terutama Gen Z, berada di tengah budaya hustle yang menuntut mereka untuk terus ‘on’ tanpa jeda. Ini membuat banyak dari mereka mengalami burnout tanpa menyadarinya.”

Budaya ini diperparah dengan algoritma media sosial yang menampilkan kesuksesan dan produktivitas sebagai standar hidup yang ideal.

Bagi cewek Gen Z, tekanan ini tidak hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam diri.

Banyak yang tumbuh dengan nilai bahwa waktu tidak boleh disia-siakan, bahwa diam adalah tanda malas, dan bahwa istirahat adalah kemunduran.

Akibatnya, mereka merasa bersalah saat mengambil waktu untuk diri sendiri, bahkan untuk hal-hal sederhana seperti tidur siang atau menonton film tanpa tujuan tertentu.

Lebih dari itu, ada ekspektasi sosial tak tertulis bahwa perempuan harus selalu kuat, tangguh, dan tidak boleh menunjukkan kelemahan.

“Ada budaya ‘strong girl’ yang sering disalahpahami. Padahal, kekuatan sejati juga bisa terlihat dari keberanian untuk mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja,” tambah Dr. Rika.

Kesadaran Akan Pentingnya Kesehatan Mental

Meski begitu, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental mulai tumbuh di kalangan Gen Z.

Banyak dari mereka yang mulai menyuarakan pengalaman pribadi tentang kelelahan, burnout, dan tekanan untuk terus produktif.

Gerakan self-care dan mental health awareness menjadi wadah untuk menyuarakan bahwa tidak apa-apa untuk berhenti, beristirahat, dan merasakan semua emosi yang ada — termasuk rasa lelah, sedih, atau tidak berdaya.

Pada akhirnya, jadi cewek Gen Z di era toxic productivity itu ibarat lomba lari yang garis finisnya nggak kelihatan—terus lari, terus ngejar, padahal capek banget.

Tapi pelan-pelan, makin banyak yang sadar: istirahat bukan dosa, rebahan bukan kegagalan, dan nggak harus selalu kelihatan "kuat" biar tetap berharga. Karena kadang, bentuk produktivitas terbaik justru ketika kita berani berhenti sejenak... buat waras.

(Imelda Rosalina)

Berita Terkait

Berita Terkini

trending

Gowok: Saat Perempuan Tak Cuma Pasrah di Atas Ranjang

Film Gowok bukan sekadar memamerkan sensualitas, melainkan menyimpan pesan soal perlawanan perempuan atas tubuh, suara, dan ruang yang lama direbut sistem patriarki. Bagaimana perempuan menjadi pelatih di dunia laki-laki?