Trending
Safe Space Buat Cewek: Ruang Aman atau Sekadar Gimmick Zaman?
Benarkah safe space buat cewek itu nyata? Atau cuma label manis biar brand dan tempat nongkrong kekinian terlihat peduli?
Vania Rossa

Dewiku.com - Belakangan ini, istilah safe space atau ruang aman semakin sering terdengar, terutama dalam konteks perempuan.
Dari komunitas online, kafe bertema feminis, hingga grup diskusi di media sosial, safe space diklaim sebagai ruang tempat perempuan bisa berbicara tanpa takut dihakimi, dilecehkan, atau diremehkan.
Baca Juga
Saat Perempuan Muda Memilih Break the Cycle: Menolak Pola Asuh Lama yang Penuh Didikan Keras
Belajar dari Sherly Tjoanda: Menjadi Pemimpin yang Lembut Namun Tegas, Tidak Harus Berteriak
Gowok: Saat Perempuan Tak Cuma Pasrah di Atas Ranjang
Spiritual Girl Era: Saat Tarot dan Journaling Jadi Cara Cewek Gen Z Kenal Diri Sendiri
Emotional Glow Up, Ketika Hati dan Mental Juga Butuh Glowing
Menangis Bukan Tanda Perempuan Lemah, Tapi Caranya Melepas Lelah dan Memulihkan Diri
Tapi benarkah ruang aman ini sungguh ada, atau cuma sekadar gimmick biar kelihatan keren dan woke di mata konsumen?
Faktanya, masih banyak perempuan yang merasa waspada meski sudah duduk di zona ‘aman’. Dan ternyata, menciptakan ruang aman nggak cukup dengan poster manis dan caption Instagram — apalagi kalau praktiknya masih setengah hati.
Apa Itu Safe Space?
Secara sederhana, safe space adalah tempat baik fisik maupun digital yang memberikan kenyamanan psikologis dan perlindungan terhadap diskriminasi atau intimidasi.
Di tengah budaya patriarki dan maraknya pelecehan berbasis gender, konsep ini menjadi sangat relevan. Safe space untuk perempuan seharusnya menjadi ruang inklusif untuk saling berbagi pengalaman, mendengarkan, dan membangun solidaritas.
Menurut Dr. Devie Rahmawati, pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, safe space memiliki peran penting dalam membentuk kesehatan mental dan kepercayaan diri perempuan.
“Ketika perempuan merasa didengar dan tidak dihakimi, mereka cenderung lebih berani mengekspresikan pendapat dan membicarakan isu-isu yang mungkin selama ini dianggap tabu, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, atau tekanan sosial,” ujarnya dalam sebuah wawancara.
Namun, dalam praktiknya, tidak semua ruang yang mengklaim dirinya sebagai safe space benar-benar aman.
Banyak komunitas yang tampak suportif di permukaan, tetapi di dalamnya masih terjadi penghakiman halus, elitisme, atau bias kelas dan penampilan.
Di media sosial, misalnya, banyak akun yang mengangkat isu perempuan, namun secara tidak sadar tetap mempromosikan standar kecantikan tertentu atau menyudutkan kelompok perempuan lain yang tidak sesuai dengan narasi mereka.
Selain itu, penting juga untuk diingat bahwa safe space tidak bisa menggantikan kebutuhan akan kebijakan publik yang melindungi perempuan secara struktural.
Ruang aman hanyalah salah satu bagian dari ekosistem pendukung, namun perubahan nyata tetap memerlukan reformasi hukum, pendidikan yang adil gender, dan sistem yang berpihak pada korban kekerasan.
Jadi, apakah safe space untuk perempuan benar-benar nyata atau hanya bualan semata?
Jawabannya tergantung pada bagaimana ruang itu dibangun dan dijalankan. Ketika dilakukan dengan niat yang tulus, inklusif, dan terbuka, safe space bisa menjadi tempat penting bagi perempuan untuk tumbuh dan saling menguatkan.
Namun, jika hanya dijadikan tren atau pemanis identitas komunitas, maka ia tidak lebih dari sekadar bualan yang kehilangan makna.
Pada akhirnya, safe space bukan sekadar tren, tapi kebutuhan. Karena perempuan sesungguhnya tak butuh ruangan penuh bean bag dan neon sign bertuliskan "You Go Girl" kalau ujung-ujungnya tetap harus pasang mode waspada tiap detik.
Ruang aman sejati bukan soal branding, tapi soal rasa hormat, edukasi, dan budaya menghargai batasan.
(Imelda Rosalina)