Ragam

Saat Perempuan Muda Memilih Break the Cycle: Menolak Pola Asuh Lama yang Penuh Didikan Keras

Perempuan muda kini berani menjadi cycle breaker, menolak pola asuh keras warisan orang tua demi membangun generasi yang lebih sehat secara mental.

Vania Rossa

Ilustrasi ibu dan anak. (Unsplash/Caroline Hernandez)
Ilustrasi ibu dan anak. (Unsplash/Caroline Hernandez)

Dewiku.com - Kalau dulu dimarahi orang tua dianggap tanda sayang, sekarang generasi muda mulai angkat suara: tidak semua yang diajarkan orang tua patut diwariskan. Semakin banyak perempuan muda yang memilih menjadi cycle breaker — memutus rantai pola asuh keras yang dulu diterima, demi menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi anak-anak mereka kelak.

Mereka tak lagi percaya bahwa bentakan bisa menggantikan empati, atau hukuman fisik bisa mengajarkan kedisiplinan. Pilihan ini bukan soal durhaka, melainkan upaya sadar untuk menyembuhkan luka lama agar tak terulang di generasi berikutnya.

Menjadi Ibu Bukan Hanya Mengurus Anak

Bagi banyak perempuan muda saat ini, menjadi ibu bukan hanya soal mengurus anak dan membangun keluarga, tapi juga tentang menyembuhkan luka masa lalu.

Mereka memahami bahwa peran sebagai orang tua bukan sekadar meneruskan tradisi atau kebiasaan lama, melainkan kesempatan untuk memutus rantai pola pengasuhan yang menyakitkan.

Terlebih di tengah gempuran narasi seperti "anak harus nurut" dan "orang tua selalu benar", generasi perempuan muda memilih untuk menjadi cycle breaker, yakni individu yang secara sadar memutus pola asuh toksik yang mereka alami sejak kecil.

Hal Ini bukan keputusan yang mudah, sebab sering kali mereka harus berhadapan dengan tekanan sosial maupun keluarga yang merasa pola lama sudah cukup baik.

Pola asuh toksik sendiri bukan hanya tentang kekerasan fisik. Ia bisa hadir dalam bentuk manipulasi emosional, kontrol berlebihan, ekspektasi yang tidak realistis, hingga minimnya validasi terhadap perasaan anak.

Kalimat seperti “Jangan nangis, itu tanda lemah,” atau “Anda harus sempurna biar Mama bangga,” menjadi suara-suara yang tertanam dalam batin banyak anak hingga dewasa.

Tanpa disadari, hal tersebut membentuk generasi yang tumbuh dalam tekanan, tidak percaya diri, bahkan memendam trauma yang dalam.

Namun kini, perempuan muda mulai bangkit, mereka menolak untuk meneruskan pola yang sama dan memilih pendekatan pengasuhan yang lebih sadar, hangat, dan berpijak pada penyembuhan luka batin.

Di media sosial, tagar seperti #CycleBreaker dan #GentleParenting menjadi ruang berbagi cerita, dukungan, dan kekuatan antarsesama yang sedang berada di perjalanan yang sama.

Mereka membaca buku parenting, ikut terapi, dan yang paling berani dalam mengatakan bahwa tidak semua yang diajarkan orang tua dulu harus diikuti.

Melansir Psychology Today, cycle breakers adalah individu yang secara sadar memilih untuk mengganggu pola keluarga yang disfungsional, sering kali dengan biaya emosional yang besar.

Sehingga, proses ini bukan hanya mengubah pola asuh, tapi juga perjalanan penyembuhan diri yang dalam, penuh refleksi, dan keberanian untuk menghadapi luka lama.

Kesadaran ini bukan datang dari ruang hampa, melainkan dampak besar trauma masa kecil terhadap kesehatan mental dan fisik jangka panjang.

“Trauma masa kecil bukan sesuatu yang otomatis hilang saat kita dewasa, Ia mempengaruhi perkembangan otak, sistem kekebalan tubuh, bahkan harapan hidup,” ujar Dr. Nadine Burke Harris, mantan Surgeon General California.

Dengan kesadaran itu, para perempuan muda mulai bertanya-tanya tentang apakah mereka ingin anak mereka merasakan hal yang sama seperti mereka dulu.

Bagi banyak dari mereka, jawabannya adalah tidak. Maka, dimulailah proses panjang dan menantang, seperti belajar mendengarkan anak, mengelola emosi, dan menciptakan rumah sebagai tempat aman, bukan ladang tekanan.

Tentu, jalannya tidak selalu mudah. Ada rasa bersalah saat menolak cara lama, juga tantangan dari keluarga besar yang tidak memahami perjuangan ini.

Namun, hadiah terbesar yang bisa diberikan kepada anak-anak kita adalah kesembuhan mental kita sendiri.

Namun, hadiah terbesar yang dapat kita berikan kepada anak-anak kita adalah kesembuhan mental kita sendiri.

Menjadi cycle breaker bukan hanya tentang menjadi ibu yang baik. Tetapi, keberanian untuk menghadapi luka, menyembuhkannya, dan tidak mewariskannya pada generasi berikutnya.

Inilah langkah kecil tapi penting menuju perubahan besar: menciptakan generasi baru yang tumbuh dalam cinta, bukan ketakutan.

Dan kini, perubahan tersebut mulai terjadi pelan-pelan tapi pasti di tangan perempuan muda yang memilih berbeda.

(Mauri Pertiwi)

Berita Terkait

Berita Terkini

trending

Gowok: Saat Perempuan Tak Cuma Pasrah di Atas Ranjang

Film Gowok bukan sekadar memamerkan sensualitas, melainkan menyimpan pesan soal perlawanan perempuan atas tubuh, suara, dan ruang yang lama direbut sistem patriarki. Bagaimana perempuan menjadi pelatih di dunia laki-laki?