Trending
Belajar dari Sherly Tjoanda: Menjadi Pemimpin yang Lembut Namun Tegas, Tidak Harus Berteriak
Belajar dari Sherly Tjoanda tentang seni kepemimpinan yang humanistidak harus keras atau galak, tapi tetap tegas dan jelas.
Vania Rossa

Dewiku.com - Di tengah hiruk-pikuk dunia kepemimpinan yang kerap didominasi oleh gaya keras, otoriter, dan maskulin, sosok Sherly Tjoanda muncul dengan pendekatan yang berbeda. Ia menghadirkan gaya kepemimpinan yang humanis, mengutamakan empati, komunikasi terbuka, serta kejelasan arah.
Gaya ini bukan hanya efektif dalam membangun tim, tetapi juga menjadi inspirasi baru bagi banyak perempuan yang ingin menapaki jalur kepemimpinan tanpa kehilangan jati diri.
Baca Juga
Gowok: Saat Perempuan Tak Cuma Pasrah di Atas Ranjang
Spiritual Girl Era: Saat Tarot dan Journaling Jadi Cara Cewek Gen Z Kenal Diri Sendiri
Emotional Glow Up, Ketika Hati dan Mental Juga Butuh Glowing
Body Shaming di Rumah Sendiri: Gendut Disindir, Kurus Dibilang Nggak Sehat!
Perempuan, Body Image, dan Standar Cantik: Sampai Kapan Mau Terus Dikejar?
7 Destinasi Wajib di Raja Ampat, Surga Tersembunyi di Timur Indonesia
Sherly membuktikan bahwa menjadi pemimpin bukan soal siapa yang paling vokal atau dominan, tetapi siapa yang paling bisa dipercaya, dipahami, dan menginspirasi.
Berikut deretan pelajaran penting yang bisa dipetik dari gaya kepemimpinan Sherly Tjoanda:
1. Memimpin dengan Empati, Bukan Emosi
Sherly Tjoanda menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak harus dibarengi dengan kemarahan atau tekanan emosional yang tinggi. Ia mempraktikkan empati sebagai kekuatan utama dalam menjalankan tanggung jawabnya.
Dalam setiap pengambilan keputusan, Sherly menempatkan dirinya sebagai bagian dari tim, bukan sebagai atasan yang jauh dari realita kerja.
Ia mendengarkan pendapat, memahami konteks personal setiap anggota, lalu mengambil keputusan yang mempertimbangkan aspek manusiawi sekaligus profesional.
Selain itu, ia juga berusaha untuk mendengar setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat dengan terjun langsung ke masyarakat.
Hal ini memberi contoh penting bagi perempuan bahwa kepedulian terhadap orang lain bukan hanya berdampak pada iklim kerja, tapi juga memengaruhi cara kita berinteraksi dengan masyarakat.
Pemimpin seperti Sherly mampu menciptakan ekosistem kerja yang sehat, yang kemudian merefleksikan nilai-nilai empati ke ruang sosial yang lebih luas, mulai dari layanan publik hingga kebijakan yang inklusif.
2. Tegas Namun Tak Keras
Alih-alih menggunakan nada tinggi atau pendekatan yang menekan, Sherly menunjukkan bahwa ketegasan bisa disampaikan lewat kejelasan sikap dan arah.
Gaya ini memberi pelajaran bagi perempuan bahwa kekuatan tidak selalu harus terlihat dominan; cukup dengan konsisten pada nilai dan transparan dalam arahan.
Di tengah masyarakat yang masih sering mengharapkan pemimpin “galak” agar dihormati, Sherly membalikkan pandangan itu.
Ia membuktikan bahwa kejelasan jauh lebih efektif dari tekanan, dan gaya ini bisa menular ke ruang-ruang sosial yang lebih luas seperti pendidikan, pelayanan publik, pertanian, bahkan perdagangan.
3. Komunikasi Sebagai Pondasi
![Sherly Tjoanda, Gubernur Maluku Utara [Instagram s_tjo]](https://media.dewiku.com/thumbs/2025/06/13/33216-sherly-tjoanda-gubernur-maluku-utara/o-img-33216-sherly-tjoanda-gubernur-maluku-utara.jpg)
Gaya Sherly yang terbuka pada komunikasi dua arah menciptakan budaya organisasi yang lebih demokratis. Ia mendengar, bukan hanya memberi instruksi.
Hal ini sangat relevan dengan kehidupan bermasyarakat, di mana krisis sering kali terjadi karena miskomunikasi dan kurangnya ruang aspirasi.
Perempuan bisa belajar darinya bahwa membangun budaya komunikasi terbuka di dalam tim juga akan berdampak pada keterlibatan masyarakat yang lebih luas serta menjadi pondasi dalam membangun masyarakat dan pembangunan berkelanjutan.
Ketika pemimpin bisa menjadi jembatan yang menyambungkan suara banyak pihak, maka proses pengambilan keputusan pun lebih akurat dan diterima secara luas.
4. Mau Belajar
Salah satu kunci ia bisa menjadi pemimpin adalah kemauan belajar, meski ia memimpin di tempat dengan budaya patriarki yang kental. Namun, dengan kegigihannya ia bisa membuktikan bahwa perempuan bisa memimpin dengan integritas yang kuat.
Hal ini, bisa menjadi acuan penting untuk para perempuan bahwa menjadi pemimpin tidak mengenal gender, dan Sherly mematahkan stigma tersebut dengan berbagai masalah dan tantangan yang menghadapinya.
Selain itu, ia juga memberikan kerja nyata dari hasil belajarnya, selain dengan kegigihannya, tetapi dengan belajar langsung dari pejabat-pejabat daerah lainnya untuk menjadi pemimpin yang bisa memimpin untuk masyarakat.
5. Konsistensi Lebih Berarti daripada Gaya
Kepemimpinan Sherly juga menonjol karena konsistensinya, ia menjalankan apa yang ia katakan, dan memegang teguh nilai-nilai yang ia yakini.
Bagi perempuan, ini menjadi pelajaran penting seperti bukan soal tampil mengesankan, tapi soal bisa dipercaya. Dan dalam hubungan dengan masyarakat, konsistensi pemimpin adalah penentu utama keberhasilan program, kebijakan, bahkan kepercayaan publik.
Ketika masyarakat melihat bahwa seorang pemimpin berkomitmen dan tak berubah-ubah sikap demi kepentingan pribadi, maka partisipasi dan dukungan pun tumbuh secara organik.
Gaya kepemimpinan Sherly Tjoanda bukan hanya relevan bagi organisasi atau ruang politik, tapi juga memberi pengaruh positif bagi pola pikir masyarakat.
Ia membuktikan bahwa pemimpin yang jelas arahnya, empatik dalam pendekatan, dan otentik dalam tindakan adalah pemimpin yang dibutuhkan saat ini.
Perempuan pun bisa belajar darinya bahwa mereka bisa hadir sebagai pemimpin tanpa harus kehilangan karakter.
Justru dengan mengedepankan nilai-nilai yang humanis dan jujur, perempuan bisa menjadi agen perubahan.
(Mauri Pertiwi)