Trending
Gowok: Saat Perempuan Tak Cuma Pasrah di Atas Ranjang
Film Gowok bukan sekadar memamerkan sensualitas, melainkan menyimpan pesan soal perlawanan perempuan atas tubuh, suara, dan ruang yang lama direbut sistem patriarki. Bagaimana perempuan menjadi pelatih di dunia laki-laki?
Vania Rossa

Dewiku.com - Siapa sangka, di balik balutan adegan sensual yang mengundang perhatian, film Gowok justru mengangkat isu yang jauh lebih kompleks dan dalam: tentang tubuh perempuan, kuasa, dan perlawanan diam-diam yang jarang dibicarakan.
Di tengah gempuran narasi patriarki yang menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap fantasi laki-laki, Gowok secara tak terduga membuka ruang diskusi soal hak atas tubuh, keinginan, hingga luka yang selama ini dipendam dalam diam.
Baca Juga
Spiritual Girl Era: Saat Tarot dan Journaling Jadi Cara Cewek Gen Z Kenal Diri Sendiri
Emotional Glow Up, Ketika Hati dan Mental Juga Butuh Glowing
Body Shaming di Rumah Sendiri: Gendut Disindir, Kurus Dibilang Nggak Sehat!
Perempuan, Body Image, dan Standar Cantik: Sampai Kapan Mau Terus Dikejar?
Pink Flag dalam Hubungan: Nggak Beracun, tapi Bikin Hati Harus Waspada
Hidup Tanpa Menikah? Kenapa Tidak! Merayakan Keberanian Perempuan dalam Menentukan Jalan Sendiri
Ini bukan sekadar cerita erotis, melainkan potret bagaimana perempuan mencoba merebut kembali ruang yang lama diambil dari mereka—dengan cara yang pelan, halus, tapi menyentuh.
Dalam film Gowok, penonton diperkenalkan pada sosok Ratri, anak angkat dari Nyai Santi, seorang Gowok legendaris yang dikenal di kalangan para pria muda calon pengantin.
Tugas seorang Gowok memang unik sekaligus problematis: mereka “mendidik” laki-laki soal bagaimana menyenangkan perempuan di malam pertama.
Sebuah ironi, karena yang mengajarkan justru perempuan, tetapi untuk kepentingan laki-laki.
Nyai Santi kemudian menurunkan ilmunya pada Ratri. Namun, alih-alih hanya menjadi penerus tradisi, Ratri menyimpan luka pribadi setelah cintanya kandas karena perbedaan kasta.
Kemanjaya, kekasih sekaligus anak bangsawan yang berjanji menikahinya, akhirnya pergi karena tekanan keluarga.
Peristiwa ini bukan sekadar soal cinta yang gagal — ini adalah kisah perempuan yang dikhianati oleh sistem sosial dan budaya yang menempatkan perempuan di posisi serba salah.
Tubuh Perempuan: Alat Pendidikan atau Hak Pribadi?
Isu paling mengganggu dari film ini terletak pada cara tubuh perempuan diperlakukan. Bukan sebagai ruang otonomi, bukan pula sebagai sumber keinginan personal, tetapi sebagai alat pendidikan untuk laki-laki.
Gowok menjadi semacam "kurikulum hidup" untuk mengajari pria cara memuaskan pasangannya, sementara hak, batasan, dan kenyamanan si perempuan justru tak dibicarakan.
Ini adalah gambaran nyata kekerasan simbolik: perempuan dipaksa paham soal seks demi memenuhi kebutuhan laki-laki, tapi dilarang bicara soal keinginannya sendiri.
Seolah-olah tubuh mereka bukan milik mereka, melainkan milik sistem yang sejak lama mengatur, mengontrol, dan menindas.
Psikolog menyebut kondisi ini sebagai bentuk double burden: perempuan harus bisa segalanya, mengajarkan segalanya, tapi tak boleh menuntut hak yang sama.
Sebuah beban yang tak semua orang sadari, namun nyata menghantui banyak perempuan di dunia nyata.
Peran “Pelatih” yang Sarat Beban dan Stigma
Menjadi Gowok tak otomatis berarti menjadi sosok berkuasa. Justru sebaliknya, para Gowok ini hidup dalam jebakan stigma ganda: dianggap “perempuan nakal” yang tak layak jadi istri, tapi di sisi lain, diam-diam dibutuhkan oleh sistem.
Tanpa Gowok, para pria muda itu tak akan siap menjalani malam pertama mereka. Ironis, bukan?
Di sinilah kontradiksi itu muncul: perempuan dipuja sekaligus dihakimi. Dipakai, tapi juga dijauhi. Dihormati diam-diam, tapi di depan publik dicemooh.
Seolah-olah kecakapan seksual perempuan adalah rahasia kotor yang tidak boleh diumbar, padahal dibutuhkan oleh budaya itu sendiri untuk melanggengkan pernikahan yang “sempurna” di mata masyarakat.
Perlawanan Sunyi yang Tersembunyi
Namun jangan salah. Meski terlihat pasrah, tokoh-tokoh perempuan di film ini justru menyimpan perlawanan mereka sendiri — perlawanan yang tak berteriak, tapi menusuk.
Melalui pengetahuan tubuh, kendali relasi fisik, bahkan lewat dendam yang tak kentara, para Gowok ini menyimpan cara untuk membalas dunia yang telah lama mengurung mereka.
Ratri, misalnya, mungkin tak bisa mengubah sistem kasta yang memisahkan cintanya. Tapi lewat perannya sebagai Gowok, ia memegang kekuatan untuk “membentuk” laki-laki baru.
Ia tahu tubuhnya bukan sekadar objek; ia tahu tubuh itu bisa menjadi alat negosiasi, bahkan alat pembalasan dendam kecil atas laki-laki dan budaya yang pernah menyingkirkannya.
Film ini pun secara samar menyentil soal hak perempuan atas kenikmatan. Perempuan tak selamanya wajib melayani; mereka juga punya hak untuk puas.
Ini adalah celah kecil yang jarang diangkat dalam film sejenis, dan Gowok mencoba menyuarakannya, meski halus dan tak frontal.
Membalik Narasi Lama tentang Perempuan dan Seksualitas
Lebih dari sekadar film sensual, Gowok adalah cerita tentang perempuan yang merebut kembali narasinya sendiri.
Mereka menolak hanya dilihat sebagai “penghibur malam pertama” atau “guru diam-diam” untuk laki-laki muda.
Mereka ingin diakui sebagai manusia utuh — dengan tubuh, suara, pikiran, dan hak untuk menentukan apa yang terjadi pada diri mereka.
Sayangnya, stigma sosial masih melekat. Perempuan seperti Gowok tetap dilabeli sebagai “perempuan tak baik-baik” oleh masyarakat.
Padahal, lewat tangan merekalah generasi laki-laki itu dibentuk — baik dalam teknik, pemahaman, maupun etika hubungan suami-istri. Mereka bukan sekadar guru seks, tapi penjaga pengetahuan perempuan yang terpinggirkan.
Gowok mengajak penontonnya melihat lebih jauh dari permukaan. Di balik adegan sensual dan erotika lokal, ada isu yang lebih dalam: hak perempuan atas tubuhnya, hak untuk bicara, untuk menginginkan, bahkan untuk menolak.
Sebuah perlawanan kecil yang mungkin tak terlihat di layar, tapi bergema lama dalam pikiran.
Film ini memang tidak sempurna. Masih banyak bias, masih banyak ruang kritik. Tapi setidaknya Gowok membuka pintu agar percakapan soal tubuh dan hak perempuan tak lagi dianggap tabu — apalagi dalam budaya yang lama menundukkan mereka dalam diam.
(Mauri Pertiwi)