Ragam

Saat Ayah di Swedia Jadi Latte Dad, Indonesia Masih Berjuang Atasi Fatherless

Belajar dari Swedia, seharusnya Indonesia bisa mewujudkan Latte Dad dan nggak berdiam diri dengan kondisi fatherless yang berlarut-larut.

Vania Rossa | Estika Kusumaningtyas

Ilustrasi ayah dan anak (Pexels/Pavel Danilyuk)
Ilustrasi ayah dan anak (Pexels/Pavel Danilyuk)

Dewiku.com - Fenomena sosial “Latte Dad” sudah dianggap biasa di Swedia sebagai gambaran sosok ayah yang santai menemani anaknya sambil minum kopi di kafe. Sebuah pemandangan sehari-hari yang lumrah di sana, tapi jadi pemandangan yang jarang ditemui di Indonesia

Alih-alih menikmati momen ayah-anak, Indonesia justru masih berkutat dengan masalah fatherless di mana kehadiran sosok ayah dalam kehidupan sehari-hari terbilang minim.

Apa Itu Latte Dad?

Istilah “Latte Dad” mulai populer di Swedia sejak tahun 2010-an di mana para ayah modern sudah sadar dan aktif menjalankan peran pengasuhan anak sejak dini. Pemandangan ayah membawa gelas kopi sambil memegang anak nggak lagi jadi hal yang tabu.

Bukan hanya secara harafiah, gambaran ini juga jadi simbol sederhana yang menunjukkan kalau seorang ayah bukan sekadar pencari nafkah tapi juga pendamping tumbuh kembang anak.

Peran Ayah dalam Budaya Nordik

Di negara-negara Nordik seperti Swedia, kesetaraan gender bukan cuma slogan, termasuk dalam peran aktif pengasuhan anak. “Latte Dad” bukan sekadar gaya hidup, tapi simbol bahwa ayah modern menunjukkan perannya sebagai pendidik dan pengasuh.

Fenomena ini nggak lepas dari kebijakan negara yang memberi 480 hari cuti berbayar untuk orang tua yang bahkan berlaku sampai usia anak 12 tahun. Kalau ada ayah yang nggak mengambil cuti sama sekali malah dianggap tabu, lho.

Norma sosial positif inilah yang kemudian mendorong ayah ikut aktif terlibat dalam tumbuh kembang anak. Alhasil, pemandangan ayah-ayah yang asyik hangout bareng anak di kafe jadi hal biasa.

Dampak Positif Latte Dad

Fenomena “Latte Dad” punya dampak nyata yang positif dalam kehidupan sehari-hari, berikut beberapa di antaranya.

  • Keseimbangan peran orang tua.
  • Membantu perkembangan sosial dan emosional anak hingga bisa tumbuh dengan rasa aman serta lebih percaya diri.
  • Anak belajar sejak dini kalau cinta dan pengasuhan bukan dari satu gender saja.
  • Meringankan beban ibu pasca melahirkan agar terhindar dari baby blues dan depresi.
  • Keluarga dengan peran aktif ayah menjadi lebih harmonis dan menurunkan angka perceraian.

Indonesia Masih “Sibuk” dengan Fatherless

Berdasarkan laporan data dalam The State of the World’s Fathers 2019, tercatat lebih dari 50 persen anak-anak di dunia mengalami keterlibatan ayah yang minim, termasuk Indonesia. Artinya, banyak anak tumbuh tanpa kehadiran ayah secara emosional, meski fisiknya ada.

Fakta di lapangan bahkan memperlihatkan kalau banyak anak yang memiliki ayah, tapi nggak punya ikatan emosi yang sehat. Fenomena fatherless di Indonesia sendiri umumnya dipengaruhi beberapa faktor yang antara lain sebagai berikut.

  • Budaya patriarki yang menempatkan ayah hanya sebagai pencari nafkah.
  • Kurangnya cuti resmi untuk ayah yang membuat kesempatan mendampingi anak sejak lahir semakin berkurang.
  • Perceraian atau perpisahan sering kali membuat anak kehilangan figur ayah.
  • Jam kerja panjang membuat ayah jarang terlibat dalam aktivitas sehari-hari anak.

Pelajaran dari Fenomena Latte Dad untuk Indonesia

Indonesia bisa belajar banyak dari fenomena Latte Dad di Swedia tentang bagaimana negara dan budaya mendukung keterlibatan ayah. Beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan masyarakat dan negara Indonesia, yaitu:

  • Memberi cuti ayah lebih panjang.
  • Mengubah mindset budaya bahwa ayah bukan hanya pencari uang tapi juga pendidik utama berdampingan dengan ibu.
  • Mengapresiasi ayah yang aktif, bukan malah mengejeknya sebagai “suami takut istri.”
  • Mengedukasi masyarakat, baik lewat media, sekolah, maupun komunitas, tentang pentingnya keterlibatan ayah untuk tumbuh kembang anak.

 

Berita Terkait

Berita Terkini