Trending
Skandal Ijazah Palsu Wali Kota di Jepang Maki Takubo Bikin Dejavu, Bagaimana dengan Kasus di Indonesia?
Kasus wali kota Jepang, Maki Takubo, yang terbukti menggunakan ijazah palsu memicu kehebohan publik. Di Indonesia, isu serupa juga pernah mencuat dan memicu polemik.
Vania Rossa | Natasya Regina Melati

Dewiku.com - Skandal penggunaan ijazah palsu kembali menghebohkan publik, kali ini datang dari Jepang. Maki Takubo, wali kota yang baru terpilih di Toda, Saitama, dikabarkan menggunakan ijazah palsu dari universitas luar negeri untuk menunjang pencalonannya. Isu ini langsung jadi sorotan luas, bahkan membuat warganet Indonesia terkenang pada berbagai kasus serupa yang sempat mengguncang tanah air.
Dari pejabat daerah hingga tokoh politik nasional, penggunaan gelar akademik fiktif bukan hal baru—dan selalu menimbulkan pertanyaan serius soal integritas dan transparansi dalam kepemimpinan publik.
Skandal seperti ini tentu tak hanya mengguncang jagat politik, tapi juga memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat hingga pejabat pemerintahan. Kasus ini bukan cuma soal surat kelulusan semata, tapi juga soal kepercayaan publik dan nilai kejujuran yang seharusnya jadi fondasi utama bagi seorang pemimpin.
Kilas Balik Tokoh Politik Indonesia dengan Kasus Serupa
Di Indonesia, kita tentu sudah dengar soal ramainya tuduhan ijazah palsu Presiden RI ke-7 Ir. Joko Widodo. Seorang mantan dosen Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar, mengunggah konten yang mempertanyakan keaslian ijazah dan skripsi sang presiden sebagai lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Alasannya cukup teknis: menurut Rismon, penggunaan font Times New Roman di lembar pengesahan dan sampul skripsi Jokowi dianggap janggal karena font tersebut diklaim belum ada pada era 1980-an hingga 1990-an. Narasi yang ia bangun bahkan dilengkapi dengan analisis forensik digital, dan seperti biasa, memicu perdebatan panas di dunia maya.
Tentu saja, banyak pihak langsung bereaksi. Sebagian warganet menilai klaim tersebut tidak masuk akal, namun sebagian lainnya justru termakan narasi yang beredar. Polemik ini pun membuat Universitas Gadjah Mada buka suara untuk meluruskan informasi.
Melalui laman resmi UGM, Dekan Fakultas Kehutanan, Sigit Sunarta, menyayangkan pernyataan menyesatkan dari Rismon. Apalagi, Rismon sendiri adalah alumni UGM dari Prodi Teknik Elektro. Menurut Sigit, sebagai akademisi, seharusnya Rismon menyampaikan informasi berdasarkan data dan metode yang sahih, bukan opini sepihak.
Ia juga menegaskan bahwa penggunaan font yang mirip Times New Roman sudah lazim digunakan untuk mencetak sampul skripsi sejak tahun 1980-an. Di sekitar kampus UGM pun sudah ada jasa percetakan seperti Prima dan Sanur yang saat itu menyediakan layanan cetak skripsi.
“Fakta adanya mesin percetakan di sanur dan prima juga seharusnya diketahui yang bersangkutan karena yang bersangkutan juga kuliah di UGM,” ujar Sigit.
Baca Juga
Nikah Sama Teman: Awkward, Lucu, Tapi Banyak Untungnya!
Lari untuk Kesetaraan, Ribuan Orang Dukung Hak Penyandang Disabilitas
Jebakan Sehat! Bahan di Salad Ini Justru Bikin Kamu Gemuk dan Sakit!
Nggak Ada Karakter Jahatnya, Ini 5 Rekomendasi Drakor yang Cocok Buat Healing
Bikin Cowok Geleng-Geleng! Ternyata Ini Alasan Cewek Pengen Dipahami Tanpa Bicara
Chic Tanpa Ribet! 4 Gaya Kasual Amanda Rawles yang Selalu On Point
Selain itu, isi skripsi Jokowi setebal 91 halaman tetap diketik manual menggunakan mesin ketik. Hanya bagian sampul dan lembar pengesahan yang dicetak menggunakan mesin percetakan, dan praktik ini sangat umum dilakukan pada masa itu.
Terkait nomor ijazah yang disebut tidak sesuai format, Sigit menjelaskan bahwa pada masa itu belum ada sistem penomoran seragam dari universitas. Fakultas Kehutanan UGM memiliki kebijakan tersendiri, yakni menggunakan format berdasarkan urutan nomor induk mahasiswa dan tambahan kode fakultas (FKT). Artinya, ijazah milik Jokowi pun sah secara administratif.
Pihak UGM juga menyayangkan tuduhan bahwa institusi kampus besar seperti UGM ikut-ikutan "melindungi" seseorang. Ijazah Jokowi dinyatakan asli, dan ia memang tercatat sebagai mahasiswa aktif, menyelesaikan skripsi, ikut kegiatan kemahasiswaan, hingga lulus dan wisuda.
Suara dari Kakak Angkatan dan Sahabat Kuliah
Ketua Senat Fakultas Kehutanan, San Afri Awang, yang juga kakak angkatan Jokowi, turut angkat bicara. Ia bahkan punya pengalaman pribadi dalam mencetak skripsi menggunakan jasa percetakan yang sama seperti Jokowi. Menurutnya, penggunaan font seperti Times New Roman sudah sangat lazim pada waktu itu.
San Afri juga menjelaskan bahwa tidak semua mahasiswa mencetak sampul skripsinya di tempat yang sama—sebagian mencetak sendiri menggunakan mesin ketik karena keterbatasan ekonomi. Ia menyesalkan tuduhan yang menyerang institusi UGM dan menyebutnya sebagai bentuk pencarian sensasi tanpa dasar yang kuat.
Hal senada juga diungkapkan Frono Jiwo, teman seangkatan Jokowi. Ia mengonfirmasi bahwa mereka sama-sama masuk kuliah tahun 1980 dan lulus tahun 1985. Frono menegaskan bahwa ijazah mereka memiliki format, font, dan tanda tangan yang sama. Bedanya hanya pada nomor kelulusan.
Ia juga mengenang masa kuliah Jokowi yang dikenal pendiam tapi humoris, serta hobi mendaki gunung. Bahkan setelah lulus, mereka sempat melamar dan bekerja di perusahaan yang sama di Aceh. Namun Jokowi memutuskan berhenti lebih dulu karena sang istri tidak betah tinggal di tengah hutan pinus.
Dari Kacamata Hukum
Guru Besar Hukum Pidana UGM, Marcus Priyo Gunarto, turut memberi penjelasan hukum terkait tuduhan yang dilemparkan Rismon. Menurutnya, dalam hukum pidana, ada dua bentuk pemalsuan: "membuat palsu" dan "memalsukan".
Tapi dalam konteks ini, tuduhan yang dialamatkan ke Jokowi lemah karena dokumen-dokumen pendukung di UGM sangat lengkap. Ada data kuliah, ujian, yudisium, hingga berita acara wisuda. Bahkan jika hanya berdasarkan jenis font, Marcus menilai kesimpulan Rismon sangat gegabah dan tidak berdasar.
Menurutnya, banyak ijazah dan skripsi dari tahun-tahun tersebut yang menggunakan font serupa, sehingga jika pendekatannya hanya visual tanpa pembanding yang relevan, maka tuduhan seperti itu tidak layak dikeluarkan oleh akademisi.
Hal ini jadi pengingat bahwa menyebarkan informasi, apalagi soal keabsahan dokumen resmi, bukan perkara sepele. Tuduhan sepihak tanpa dasar yang kuat bisa menyesatkan banyak orang dan mencederai reputasi institusi pendidikan sekaliber UGM.
Di tengah derasnya arus informasi digital, kita semua dituntut untuk lebih kritis, apalagi jika yang disampaikan berasal dari satu sisi saja. Jangan sampai kita jadi bagian dari penyebaran hoaks yang dibungkus seolah-olah ilmiah.
Dari kasus Maki Takubo juga jadi pelajaran penting bahwa kejujuran tetap jadi fondasi utama dalam dunia politik. Memalsukan riwayat pendidikan bukan hanya tindakan yang melanggar etika, tapi juga bisa menghancurkan kepercayaan publik yang dibangun dengan susah payah.
Semoga kisah ini bisa jadi pengingat bahwa pencapaian sejati datang dari proses yang jujur, bukan dari jalan pintas yang penuh risiko.