Trending

Baru Rilis, Hanung Bramantyo Sebut Merah Putih: One For All Masih Setengah Matang

Hanung Bramantyo kritik keras film animasi Merah Putih: One For All yang dinilai belum matang dan dipaksakan tayang di bioskop.

Vania Rossa | Ayu Ratna

Hanung Bramantyo (Instagram/hanungbramantyo)
Hanung Bramantyo (Instagram/hanungbramantyo)

Dewiku.com - Film animasi "Merah Putih: One For All" akhirnya resmi tayang di bioskop mulai 15/08/2025. Tapi sayangnya, momen yang harusnya jadi selebrasi malah diwarnai dengan kritik tajam dari salah satu sutradara ternama Indonesia, Hanung Bramantyo.

Hanung yang nonton film ini di hari pertama penayangan langsung menyampaikan rasa kecewanya. Ia menilai film ini belum matang secara teknis dan visual, bahkan terkesan masih dalam tahap pengembangan. Menurutnya, film ini dipaksakan tayang di layar lebar padahal kualitasnya masih jauh dari kata siap.

Dilansir Dewiku.com dari beberapa sumber, Hanung juga terang-terangan mempertanyakan transparansi dana produksi yang kabarnya mencapai Rp 6,7 miliar. Baginya, jumlah tersebut sangat tidak sepadan dengan hasil yang ditampilkan di layar.

Kualitas Visual yang Jadi Sorotan

Kritik paling keras Hanung jelas mengarah ke kualitas visual. Ia menyebut animasi film ini terlihat kasar, kaku, dan tidak realistis. Bahkan transisi antar adegan disebutnya seperti “pergeseran slide presentasi” yang bikin konsentrasi penonton gampang buyar.

Menurut Hanung, standar produksi film animasi seharusnya memakan waktu sekitar 4 tahun agar hasilnya benar-benar matang. Sementara film ini terkesan buru-buru, jadi wajar kalau hasil akhirnya bikin banyak orang kecewa.

Ia juga menambahkan kalau kualitas visual yang ditampilkan nggak sepadan dengan biaya produksi. Dana sebesar Rp 6,7 miliar seharusnya bisa dimaksimalkan dengan cara berbeda, bukan memaksakan film yang jelas-jelas masih setengah matang untuk masuk bioskop.

Masalah Dana dan Transparansi

Selain soal kualitas visual, Hanung juga mengkritik masalah transparansi dana produksi. Ia heran bagaimana mungkin biaya sebesar Rp 6,7 miliar bisa menghasilkan film dengan kualitas rendah. Padahal, menurut standar industri, film animasi layar lebar biasanya butuh biaya Rp 30–40 miliar dengan proses 4–5 tahun pengerjaan.

Hanung menilai kalau dana yang sudah dipotong pajak dan biaya lain jelas nggak cukup untuk hasil yang maksimal. Tapi tetap saja, menurutnya ada yang janggal dalam penggunaan anggaran. Ia bahkan menyebut bisa jadi ada hal yang tidak jujur dalam proses pengelolaan dana film ini.

Lebih jauh, Hanung juga mengingatkan para investor agar lebih hati-hati. Menurutnya, jangan mudah percaya pada proyek film animasi tanpa memperhatikan kredibilitas tim produksi. Karena kalau tidak, yang dirugikan bukan hanya investor, tapi juga penonton.

Dipaksakan Tayang di Bioskop

Hal lain yang bikin Hanung heran adalah bagaimana film ini bisa dapat slot tayang di bioskop besar, sementara masih ada ratusan film Indonesia lain yang antre menunggu giliran.

Menurut Hanung, film ini lebih cocok dirilis di platform digital seperti YouTube, karena jelas masih dalam tahap pengembangan. Tayangan bioskop punya standar tinggi, dan kalau film belum siap seharusnya jangan dipaksakan.

Hanung juga menekankan pentingnya kesabaran dan ketelitian dalam proses kreatif. Film, apalagi animasi, harus melalui proses panjang supaya bisa menyampaikan pesan dengan baik dan terasa dekat dengan penonton. Kalau buru-buru, hasilnya jadi setengah matang dan bikin kecewa.

Secara keseluruhan, Hanung Bramantyo menilai "Merah Putih: One For All" belum layak tayang di bioskop. Mulai dari kualitas animasi yang masih kasar, masalah transparansi dana, hingga keputusan distribusi yang terkesan dipaksakan.

Kritik ini jelas jadi tamparan keras buat industri film animasi Indonesia agar lebih serius dalam menghadirkan karya yang matang, jujur, dan benar-benar layak untuk ditonton.

Berita Terkait

Berita Terkini