Ragam
Resting Bitch Face: Ketika Perempuan Dihakimi Hanya karena Ekspresi Wajah
Di banyak budaya, perempuan seolah-olah diwajibkan tersenyum agar dianggap bersahabat. Jika tidak, mereka bisa dicap sombong atau bahkan bermasalah.
Vania Rossa

Dewiku.com - "Jutek banget sih," atau "Senyum dikit dong,"— Ucapan ini mungkin pernah kamu dengar, terutama
jika kamu seorang perempuan yang jarang tersenyum di depan umum.
Tanpa disadari, ada ekspektasi sosial yang mengharuskan perempuan untuk selalu terlihat ramah dan menyenangkan.
Baca Juga
Mengenal RIASEC: Peta Karier yang Memandu Langkahmu Menuju Kesuksesan
Seperti Menggenggam Angin, Pendidikan Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum yang Sulit Dicapai
Self-Sabotage: Saat Diri Sendiri Jadi Penghambat Kesuksesan
Lagu "Bayar Bayar" Sukatani Dipermasalahkan: Pembungkaman Seni dan Ekspresi?
Lonjakan Islamofobia di Britania Raya: Ancaman Bagi Masyarakat Multikultural?
Carmen Resmi Debut di Korea, Banggakan Indonesia Lewat Girl Group Hearts2Hearts
Di banyak budaya, perempuan seolah-olah diwajibkan tersenyum agar dianggap bersahabat. Jika tidak, mereka bisa dicap sombong atau bahkan bermasalah. Sementara itu, laki-laki dengan ekspresi serupa justru dianggap cool dan penuh pertimbangan.
Standar ganda ini mencerminkan bagaimana ekspresi perempuan dan laki-laki dipersepsikan secara berbeda dalam masyarakat.
Di dunia kerja, misalnya, perempuan sering kali dipaksa untuk selalu terlihat ramah agar tidak dianggap bossy atau arogan. Kalau mereka menunjukkan ekspresi serius seperti laki-laki, mereka bisa dianggap terlalu agresif. Sedangkan, laki-laki bisa tetap terlihat profesional dan dihormati meskipun ekspresinya serius atau bahkan sedikit galak.
Psikolog klinis Astrid Nur Alfradais menyebutkan bahwa ekspektasi ini muncul karena adanya norma sosial yang mengaitkan perempuan dengan ekspresi lemah lembut dan patuh.
"Dalam norma sosial, perempuan sering dikaitkan dengan ekspresi yang lemah lembut dan patuh. Jadi, kalau perempuan tidak sabar atau menunjukkan ekspresi serius, mereka bisa dianggap bertentangan dengan ekspektasi masyarakat," ujarnya.
Salah satu istilah yang muncul dari fenomena ini adalah Resting Bitch Face (RBF). Istilah ini seakan menjustifikasi fenomena perempuan yang harus selalu tersenyum.
Apa Itu Resting Bitch Face?
Resting Bitch Face adalah istilah yang merujuk pada ekspresi wajah seseorang, terutama perempuan, yang terlihat tidak ramah atau marah meskipun mereka sebenarnya sedang dalam keadaan netral.
Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Jessica Bennett di New York Times, dan sejak itu menjadi bagian dari budaya populer.
Kata "bitch" dalam istilah ini bukan tanpa alasan —label ini hanya diberikan kepada perempuan untuk menggambarkan perempuan yang dianggap memiliki ekspresi ‘judes’ atau kurang bersahabat.
Ekspektasi Sosial Kepada Perempuan
Ekspektasi sosial ini tidak hanya memengaruhi cara masyarakat menilai ekspresi perempuan, tetapi juga menciptakan tekanan psikologis bagi mereka. Banyak perempuan merasa terpaksa untuk selalu terlihat ceria agar diterima di lingkungan sosial.
Astrid menambahkan bahwa tekanan untuk selalu tersenyum dapat berdampak negatif pada kesehatan mental perempuan.
Menurutnya, dampak ini akan memunculkan perasaan tertekan dan kurang berdaya pada perempuan yang dapat memicu stress, kecemasan berlebihan, dan masalah psikologis lainnya.
Nah, salah satu cara untuk mengurangi stigma ini adalah dengan menyadari bahwa ekspektasi sosial terhadap ekspresi perempuan sering kali tidak adil.
Kalau laki-laki boleh tampil serius dan tetap dianggap profesional, maka perempuan juga seharusnya mendapatkan kebebasan yang sama untuk menampilkan ekspresi wajah mereka tanpa takut dicap negatif.
Astrid menekankan bahwa ekspresi wajah adalah bagian dari diri seseorang yang tidak harus selalu disesuaikan dengan ekspektasi orang lain.
Menurutnya, perempuan tidak wajib terlihat ramah atau bahagia hanya karena tekanan sosial. Jika ada yang menilai seorang perempuan memiliki ekspresi RBF, perempuan tersebut berhak untuk secara asertif menjelaskan bahwa ekspresi wajahnya adalah sesuatu yang alami dan bukan sesuatu yang perlu diubah hanya demi memenuhi harapan orang lain.
Ia juga menambahkan bahwa penting bagi setiap individu untuk menyadari bahwa mereka tidak harus selalu berusaha menyenangkan orang lain.
Menyesuaikan ekspresi wajah hanya demi menghindari penilaian negatif bukanlah suatu keharusan, karena setiap orang berhak menampilkan ekspresi yang mencerminkan keadaan dirinya tanpa merasa terpaksa.
“Perlu dipahami kalau kita gak harus selalu menyenangkan orang lain. Oleh karena itu, penting bagi perempuan untuk mengenali emosi mereka dan memvalidasi perasaan sendiri tanpa harus selalu memenuhi ekspektasi sosial," tuturnya.
Untuk mengurangi stigma ini, penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa ekspektasi sosial terhadap ekspresi perempuan sering kali tidak adil. Perempuan seharusnya memiliki kebebasan yang sama seperti laki-laki dalam mengekspresikan diri tanpa takut dicap negatif. Selain itu, perempuan didorong untuk memvalidasi perasaan mereka sendiri tanpa merasa terpaksa memenuhi ekspektasi sosial yang tidak realistis.
Pada akhirnya, tersenyum adalah pilihan pribadi, bukan kewajiban. Menghormati ekspresi alami setiap individu, tanpa memandang gender, adalah langkah penting menuju kesetaraan dan pemahaman yang lebih baik dalam masyarakat.
(Humaira Ratu)