Ragam

Kalis Mardiasih: Nggak Selalu Tentang Belenggu, Perempuan dan Dapur Juga Bisa Jadi Value

Kalis Mardiasih bicara soal perempuan, dapur, dan stigma sosial dalam konsep feminisme.

Vania Rossa | Estika Kusumaningtyas

Kalis Mardiasih (Instagram/kalis.mardiasih)
Kalis Mardiasih (Instagram/kalis.mardiasih)

Dewiku.com - Kalis Mardiasih adalah seorang penulis dan aktivis yang dikenal cukup lantang menyuarakan isu perempuan dalam gerakan feminisme. Kalis juga kerap membagikan opininya dalam unggahan di media sosial, termasuk tentang perempuan dan stigma sosial soal dapur.

Saat dilontarkan pertanyaan tentang apakah orang yang mendukung kesetaraan gender itu nggak mau masak di dapur buat suami, Kalis menjawab dengan runut tanpa menyudutkan pihak mana pun.

“Jare sopo (kata siapa)? Yang ditolak oleh para feminis itu adalah pembakuan peran berdasarkan jenis kelamin,” jawab ibu satu anak yang kerap disapa Mbak Kalis tersebut.

Lebih lanjut Mbak Kalis menjelaskan kalau dapur jangan sampai jadi belenggu yang membuat perempuan hanya bisa beraktivitas di dapur dari pagi sampai malam.

“Jadi, kalau misalnya perempuan itu dibikin ada di dapur terus, aktivitasnya cuma masak aja sehingga dia nggak bisa sekolah, nggak bisa aktualisasi diri, dia nggak punya kegiatan lain selain dapur yang membelenggunya, itu sebenernya yang ditolak,” jelasnya lebih detail.

Di sisi lain, Kalis juga mengkritisi dapur yang malah mengisolasi perempuan. Tapi, kalis juga memuji keberadaan dapur yang mampu memberdayakan perempuan sebagai sumber kekuatan, baik soal pengetahuan maupun value ekonomi.

“Ada itu dapur yang membuat perempuan terisolasi, terpisah dari peran-perannya yang lain, sampai jadi korban kekerasan. Tapi kalau dapur itu memberikan kekuatan, dapur itu sebagai pusat pengetahuan yang memberdayakan perempuan, dapur itu bahkan bisa jadi ada value ekonomi yang tinggi sehingga bisa bikin perempuan berpenghasilan, berdaya, ya itu sangat bagus,” tambah Kalis.

Apa itu Pembakuan Peran Perempuan?

Berdasar pemikiran Kalis Mardiasih, istilah pembakuan peran perempuan dari jenis kelamin mengarah pada tugas utama hanya memasak sementara laki-laki tugasnya menyeruput kopi dan teh sambil baca koran.

Pemandangan yang nggak asing di zaman dulu ini secara nggak langsung itu bikin laki-laki nggak punya daya survival, yang sekadar masak sederhana saja nggak bisa. Akibatnya laki-laki bakal rugi sendiri, termasuk anak laki-laki dan laki-laki dewasa secara umum.

Perempuan, Dapur, dan Stigma Sosial

Dalam konsep feminisme, kata dapur sering kali dilekatkan dengan citra “belenggu” terhadap perempuan. Banyak yang menganggap ketika perempuan diidentikkan dengan dapur, maka ia seolah hanya terbatas pada peran domestik.

Perspektif berbeda dari Kalis Mardiasih tadi justru membuka sudut pandang yang lebih luas di mana dapur nggak melulu dipandang sebagai simbol pengekangan. Dapur justru bisa jadi sarana pemberdayaan bagi perempuan, tergantung bagaimana ia mengelolanya.

Menggeser Perspektif: Dari Belenggu ke Value

Ada pergeseran makna yang ditawarkan Kalis Mardiasih. Dulu, dapur dianggap sebagai batasan peran perempuan, tapi kini dapur bisa dilihat sebagai aset dari berbagai aspek.

  • Dari sisi ekonomi, dapur melahirkan usaha kuliner, katering, sampai brand besar yang menyerap tenaga kerja.
  • Dari sisi budaya, dapur jadi ruang menjaga tradisi lewat resep turun-temurun.
  • Dari sisi relasi keluarga, dapur menghadirkan interaksi hangat yang mampu memperkuat ikatan.

Dengan perspektif ini, perempuan yang berada di dapur nggak bisa serta merta dicap “terkungkung”. Feminisme buka tentang nggak mau pegang dapur, tapi bagaimana cara memberdayakan diri tanpa kekangan pembakuan peran berdasar gender.

Media Sosial: Narasi Baru Perempuan dan Dapur

Era digital turut membantu mengubah stigma. Banyak kreator konten perempuan memanfaatkan dapur untuk membangun personal branding. Video memasak, review resep, hingga konten food vlogger yang lahir dari dapur justru mendatangkan penghasilan dan pengaruh besar.

Hal ini sejalan dengan gagasan Kalis Mardiasih bahwa perempuan berhak menentukan nilai dari dapur yang mereka pilih. Nggak ada lagi narasi tunggal yang memojokkan atau bahkan mengisolasi perempuan.

 

Berita Terkait

Berita Terkini