Jurnalis Perempuan Rentan KGBO, Dapat Komentar Kasar hingga Doxing

Media, platform digital, dan pemerintah perlu bekerja sama untuk mengatasi kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang semakin marak, tak terkecuali bagi jurnalis perempuan.

By: Rima Sekarani Imamun Nissa icon Minggu, 11 Agustus 2024 icon 09:00 WIB
Jurnalis Perempuan Rentan KGBO, Dapat Komentar Kasar hingga Doxing

Diskusi bertajuk #JagaRuangOnline: Media Melawan KBGO digelar di Kineforum Asrul Sani, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (8/8/2024). (Dok.Istimewa)

Media, platform digital, dan pemerintah perlu lebih aktif dan responsif dalam menggaungkan dan mengatasi isu kekerasan berbasis gender online (KBGO). Hal ini demi, demi memastikan ruang digital yang aman, termasuk melindungi jurnalis dan pekerja media perempuan yang rentan akan risiko KBGO.

 "Seiring dengan perkembangan teknologi, KBGO menjadi risiko serius baru yang menambah kerentanan jurnalis perempuan. Sayangnya, kasus KBGO masih diremehkan oleh masyarakat, atau bahkan komunitas pers sendiri. Kekerasan seksual sering dinilai harus kekerasan fisik. Padahal KBGO punya dampak psikologis yang serius pada korban," Yovantra Arief, Direktur Eksekutif Remotivi, pada diskusi hybrid #JagaRuangOnline: Media Melawan KBGO di Kineforum Asrul Sani, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (8/8/2024).

Remotivi bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI), didukung oleh ABCID, mengadakan survei tentang KBGO pada 2023 yang melibatkan sekitar 200 jurnalis. Survei ini menemukan bahwa bentuk paling umum KBGO yang dialami perempuan di bidang jurnalistik adalah pelecehan melalui pesan pribadi, serangan dengan bahasa kasar, pemantauan yang terdeteksi, dan pelecehan berbasis gambar dan komentar cabul.

Jurnalis perempuan juga rentan menjadi target KBGO sebagai strategi represi atas pemberitaan yang kritis. Namun temuan survei ini menunjukkan masih banyak ketidaktahuan tentang KBGO, sehingga perlunya lebih banyak informasi untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang KBGO sebagai cara pencegahan. Hal ini memerlukan akuntabilitas dan kapasitas organisasi media untuk lebih responsif dengan meningkatkan kesadaran, membuat dan menegakkan kebijakan yang menanggapi masalah ini, dan memberikan dukungan bagi para penyintas.

Citra Dyah Prastuti, Wakil Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), mengatakan bahwa AMSI terus berupaya mendorong anggotanya untuk lebih responsif akan isu KGBO. Tahun ini AMSI bersama beberapa anggota meluncurkan Modul dan SOP Pencegahan dan Penanganan KBGO di Perusahaan Media.

Isu KBGO penting untuk media dan perusahaan media itu sendiri. Perusahaan media perlu memperhatikan isu KBGO dengan seksama karena semua rentan menjadi korban KBGO - tak hanya staf redaksi, namun juga staf dari tim lainnya.

Selain itu, jurnalis dan pekerja media juga mesti memiliki pengetahuan dan pemahaman soal KBGO sehingga bisa melindungi diri sendiri; sekaligus mendorong perusahaan medianya memiliki regulasi berbasis gender untuk melindungi semua pekerja dari KBGO. Kasus KBGO dapat mengguncang internal perusahaan dan berdampak pada bisnis. Perusahaan yang aman bagi karyawan akan tumbuh berkelanjutan.

"Keberagaman gender di tim redaksi membantu media tetap relevan dengan perspektif yang beragam. Oleh karena itu, perusahaan media perlu kesadaran dan regulasi berbasis gender," ujar Citra.

Pada kesempatan yang sama, Pemimpin Redaksi Magdalene Devi Asmarani mengungkapkan bahwa anggota tim editorial Magdalene juga sering menjadi sasaran KBGO.

"Kami sangat merasakan dampak dari KBGO, mulai dari komentar bertubi-tubi yang kasar hingga doxing, dan biasanya kami harus merespons dengan sigap sebelum berdampak lebih parah pada tim kami terutama yang di garda terdepan di media sosial," ucapnya. 

Dihubungi secara terpisah, Lead International Development dari ABCID, Jo Elsom, mengatakan, "Sebagai media, kita perlu menyediakan tempat kerja yang aman bagi staf kita, bagi mereka yang ditampilkan dalam konten kita, maupun bagi audiens yang berinteraksi dengan konten kita di ranah online. Kita tidak hanya bisa mempelopori cara membangun dan mempertahankan standar untuk mencegah dan menangani KBGO, tetapi kita juga bisa bekerja bersama komunitas untuk meningkatkan kesadaran akan dampak dari isu ini, serta pentingnya mendukung hanya perilaku-perilaku online yang aman."

Diskusi bertajuk #JagaRuangOnline: Media Melawan KBGO digelar di Kineforum Asrul Sani, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (8/8/2024). (Dok.Istimewa)
Diskusi bertajuk #JagaRuangOnline: Media Melawan KBGO digelar di Kineforum Asrul Sani, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (8/8/2024). (Dok.Istimewa)

Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan berbasis gender, yang memiliki 87 anggota, mencatat 91 laporan KBGO. Korbannya beragam, dari perempuan hingga kelompok rentan lainnya. Tantangan utama dalam penanganan kasus ini adalah proses hukum yang panjang, beban pembuktian yang berat, serta keterbatasan sumber daya dan respons aparat.

"Yang tak kalah penting adalah penghapusan konten KBGO yang sangat sulit. Dibutuhkan komitmen bersama, dukungan regulasi, dan sumber daya yang memadai untuk mewujudkannya," ujar Novita Sari, Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan. 

Pembicara dalam diskusi hybrid #JagaRuangOnline: media Melawan KBGO, juga sepakat akan peran pemerintah sebagai regulator untuk meningkatkan keamanan ruang digital bagi semua dan memastikan korban mendapatkan keadilan.

"Pemerintah terus berupaya menjaga dan meningkatkan dampak positif dari perkembangan teknologi tersebut dan, di sisi lain, secara holistik menekan seluruh dampak negatif yang dapat ditimbulkan dengan berbagai cara," jelas Ryan Abdisa Sukmadja, Tim Penyidikan dan Ahli UU ITE, Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.

Komitmen platform media sosial untuk meningkatkan upaya untuk menjaga ruang digital yang bebas KBGO lewat teknologi maupun kebijakan juga sebuah kunci dalam mengatasi masalah ini.

Dessy Sukendar, Policy Programs Manager Meta di Indonesia mengatakan, "Masyarakat, termasuk jurnalis dan aktivis, menggunakan teknologi dan berbagai program Meta untuk terhubung dengan komunitas, mengeksplorasi minat, dan membuat atau berbagi cerita. Kami terus mendorong interaksi yang aman di platform kami, termasuk menawarkan perlindungan untuk melindungi informasi, akun, dan kontak."

Dalam forum ini, Magdalene juga mengumumkan pemenang kompetisi jurnalistik KBGO yang diselenggarakan pada 22 Mei 2024 – 5 Juli 2024 dan diikuti 60 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia untuk tiga kategori (artikel, video dan konten media sosial). Panel juri kompetisi ini beranggotakan Ketua Umum AJI, Nany Afrida, Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, dan Ignatius Haryanto, Akademisi Universitas Multimedia Nusantara (UMN).

Pemenang pertama untuk kategori Artikel adalah Christiabella Abigail Loppies dari KBR Media dengan artikel berjudul "Jalan Terjal Penanganan KBGO Berperspektif Korban". Pemenang kedua adalah Arya Nur Prianugraha dari Bincang Perempuan, dan pemenang ketiga adalah Muhammad Irfan Al-Amin dari Tirto. Neno Karlina Paputungan dari Zona Utara juga menerima penghargaan honorary mention.

Untuk kategori video, pemenang utama adalah Tri Indriawati dari Kompas.com dengan judul video: "Kasus KBGO Kian Marak, Sudahkah Media Sosial Jadi Ruang Aman bagi Semua Orang?". Pemenang kedua di kategori ini adalah Firda Iskandar dari digitalMamaID dan pemenang ketiga adalah Retno Wahyuningtyas dari Bincang Perempuan. 

Untuk kategori media sosial pemenang pertama adalah Hayden Farrel Nugraha dan Faricha Tresna Ning Adinda yang tidak mewakili media dengan judul konten: "Kenalnya dari Swipe Kanan, Endingnya Malah Dibikin Angkat Tangan". Ia diikuti oleh pemenang kedua dan ketiga Christiabella Abigail Loppies dari KBR Media, dan Julita Hasanah, yang juga mewakili pribadi.

Sementara itu, acara talkshow dan kompetisi jurnalistik ini merupakan bagian dari Indonesia Media Program yang diimplementasikan oleh ABC International Development (ABCID) dan didanai oleh Pemerintah Australia di bawah Strategi Penyiaran Indo-Pasifik.

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI