KDRT di NTT, Ketidakberdayaan Perempuan Masih Menjadi Masalah Besar

Kekerasan terhadap perempuan sering kali tidak ditindak secara tegas, seiring dengan ironi keyakinan yang menormalisasi penderitaan korban.

By: Rima Sekarani Imamun Nissa icon Selasa, 03 Desember 2024 icon 15:00 WIB
KDRT di NTT, Ketidakberdayaan Perempuan Masih Menjadi Masalah Besar

Ilustrasi perempuan korban KDRT (Freepik)

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali menjadi sorotan setelah meninggalnya Maria Mei, perempuan asal NTT yang dianiaya oleh suaminya, oknum Satpol PP setempat. 

Peristiwa tragis ini terjadi di pekarangan rumah mereka. Ironisnya, warga sekitar hanya menjadi saksi tanpa bertindak untuk menghentikan kejadian tersebut.

"Jika saja warga bertindak lebih cepat, mungkin nyawa Ibu Maria Mei bisa diselamatkan," ujar Rita Hasugian, Pemimpin Redaksi Katong NTT, dalam sesi live Instagram bersama Dewiku.com, Jumat (29/11/2024) lalu.

Baca Juga: Forum Perempuan di Desa Camplong II dan Tolnaku: Sebuah Upaya Bangkit Menuju Pemberdayaan

Rita mengaku prihatin terhadap kurangnya keberanian masyarakat untuk bertindak dalam situasi darurat seperti itu. Menurut dia, hal tersebut merupakan cerminan rendahnya empati kolektif. Bahkan ketika teriakan meminta tolong terdengar, respons yang muncul sangat minim.

Di Nusa Tenggara Timur, masalah ini diperparah oleh keyakinan sebagian perempuan yang menganggap kekerasan sebagai bentuk pengorbanan yang harus dipikul dalam kehidupan mereka. 

"Banyak perempuan di NTT merasa bahwa penderitaan adalah bagian dari hidup yang tidak boleh dilawan," ungkap Rita. 

Baca Juga: UN Women Indonesia Luncurkan Chatbot AI untuk Perempuan

Rita mempertanyakan apakah Maria Mei juga memiliki pandangan serupa sehingga tidak melawan atau melapor.

Sepanjang kariernya sebagai jurnalis, Rita sering mendengar curhatan para korban kekerasan. Beberapa bahkan sempat tinggal bersamanya karena tak tahu harus berlindung di mana.

"Saya selalu mencoba mendengarkan mereka dengan penuh perhatian dan membantu mereka menyadari bahwa mereka berharga," katanya.

Menurut Rita, menyuarakan kisah korban kekerasan tidak boleh hanya bertujuan untuk viral. Tidak hanya akurat dan terpercaya, berita yang disajikan mestinya juga lebih berempati pada korban.

"Yang penting adalah dampaknya bagi mereka yang membutuhkan," tegasnya. 

Baca Juga: Layanan Terpadu Korban Kekerasan Belum Optimal, UNDP Indonesia: Butuh Banyak Pembenahan

Rita pun berharap empati dan cinta dapat menjadi kunci untuk menghentikan siklus kekerasan terhadap perempuan, khususnya di wilayah NTT. (*Nurul Lutfia Maryadi)

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI