Perempuan Korban Kekerasan Tidak Bercerita, Victim Blaming Biang Keladinya
Untuk apa perempuan korban kekerasan bercerita jika ujungnya malah disalahkan?
Kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi, tetapi ada begitu banyak korban yang tidak melaporkannya kepada pihak berwenang. Jangankan melapor, mereka bahkan tidak berani menceritakan apa yang dialami kepada siapa pun.
Mengapa perempuan korban kekerasan tidak bercerita? Salah satunya adalah kecenderungan orang-orang melakukan victim blaming pada kasus kekerasan terhadap perempuan.
Apa Itu Victim Blaming?
Baca Juga: Layanan Terpadu Korban Kekerasan Belum Optimal, UNDP Indonesia: Butuh Banyak Pembenahan
Victim blaming merupakan situasi di mana korban kejahatan atau sebuah tragedi malah disalahkan, bahkan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang terjadi pada mereka. Ironisnya, victim blaming sering terjadi pada kasus kekerasan terhadap perempuan.
Ada beberapa kalimat yang dapat menggambarkan victim blaming. Contohnya adalah berbagai komentar jahat yang kerap dilontarkan pada korban kekerasan seksual di bawah ini:
Siapa suruh pakai baju terbuka?
Baca Juga: Kampanye 16HAKTP, Komnas Perempuan Kolaborasi dengan Berbagai Pihak
Kenapa baru lapor sekarang?
Kamu sebenarnya menikmati, 'kan?
Fenomena ini sangat mungkin membuat korban tak punya keberanian untuk mengungkapkan kejahatan. Mereka takut disalahkan dan dihakimi, sementara si pelaku justru mendapat pemakluman, bahkan bebas dari tuduhan. Akibatnya, pelaku bisa saja mengulangi perbuatannya, baik itu terhadap korban yang sama atau lainnya.
Dampak victim blaming bisa sangat fatal. Melansir Hellosehat, serangan yang diterima korban dapat menyebabkan gangguan kecemasan, stres pascatrauma atau PTSD, hingga depresi.
Setop Menyalahkan Korban!
Terkait fenomena victim blaming, Komnas Perempuan meminta masyarakat berhenti menyalahkan perempuan korban kekerasan. Sebagai korban, perempuan seharusnya dapat perlindungan, termasuk dukungan dari orang-orang terdekat serta lingkungan sekitarnya.
"Setop menyalahkan korban kekerasan, termasuk berhenti menyalahkan seakan-akan perempuan sumber dari kekerasan itu," ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, dalam acara media talk bertajuk "Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan: Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan" di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jumat (29/11/2024), sebagaimana dikutip Dewiku.com dari Suara.com.
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) dilaksanakan mulai 25 November hingga 10 Desember 2024. Berlangsung selama 10 hari, kampanye ini diharapkan menjadi momentum untuk mengajak semua pihak bersama-sama mencegah, menghapus, dan menangani kekerasan terhadap perempuan.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, terjadi lebih dari 2,5 juta kasus kekerasan terhadap perempuan dalam 10 tahun terakhir. Kasus yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual yang mencapai 143.893 kasus.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dinilai menjadi angin segar karena menunjukkan bahwa negara lebih berpihak terhadap korban.
Baca Juga: Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan: Perjuangan Tiada Henti Lawan Ketidakadilan dan Penindasan
"Publik juga semakin menyadari bahwa kekerasan seksual tidak boleh dinormalisasi. Misalnya, catcalling, kan, sesuatu yang dianggap biasa. Tapi sejak ada UU TPKS, orang banyak yang sadar, enggak boleh lagi, karena itu termasuk pelecehan seksual nonfisik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4," papar Veryanto Sitohang.
BERITA TERKAIT
Pemerintah Kaji Aturan Batas Usia Main Media Sosial untuk Anak, Apa Kata Bunda?
Jumat, 17 Januari 2025 | 09:30 WIBRealita Sekolah Swasta, Selalu Lebih Baik dari Sekolah Negeri?
Kamis, 16 Januari 2025 | 13:45 WIBBerhenti jadi People Pleaser, Begini Cara Prioritasin Dirimu Sendiri!
Rabu, 15 Januari 2025 | 12:17 WIBMengenal Gamophobia: Ketika Pernikahan Menjadi Mimpi Buruk
Selasa, 14 Januari 2025 | 10:30 WIBBERITA TERKINI