Trending
Lagi Tren Curhat ke AI, Emang Bisa Gantikan Psikolog Beneran?
Curhat ke chatbot AI makin populer karena cepat dan anonim. Tapi, apakah benar bisa menggantikan peran psikolog profesional? Simak fakta dan risikonya di sini.
Vania Rossa

Dewiku.com - Di tengah kemajuan teknologi, curhat bukan lagi soal ngobrol langsung dengan sahabat atau duduk berhadapan dengan psikolog. Sekarang, banyak orang memilih mencurahkan isi hati ke chatbot AI yang bisa diakses 24/7. Mulai dari soal percintaan, masalah keluarga, hingga tekanan hidup, semuanya bisa ditumpahkan ke “asisten digital” yang tak pernah lelah merespons.
Fenomena orang-orang yang beralih ke chatbot AI untuk mengatasi rasa kesepian semakin menjadi sorotan. Sosiolog MIT, Sherry Turkle, dalam sebuah acara di Harvard Law School pada 20 Maret, ngaku khawatir tentang hal ini. Menurut Turkle, teknologi, termasuk chatbot AI, berpotensi mengikis kemampuan kita untuk berempati dengan orang lain.
Baca Juga
Jangan Cuma Nabung Skincare, Ini 7 Alasan Cewek Butuh Dana Darurat!
Doyan Fast Food Tapi Takut Gendut? Coba Trik Ini Dulu!
Tampil Elegan di Usia 30-an? Coba 5 Trik Gaya Simpel Ini!
Bangun Tidur Masih Merasa Lelah? Mungkin Kamu Bukan Malas, Tapi Burnout!
Tiru Gaya Simpel Elegan Alyssa Daguise, Biar Hangout Tetap Look Classy!
Kenalan Sama Feby Putri, Kolaborasinya Bareng Rapper Korea Loco Curi Perhatian
Saat ini, chatbot AI memang bisa berfungsi layaknya terapis atau pendamping. Mereka menyuguhkan kenyamanan karena tidak menghakimi penggunanya saat bercerita. AI bahkan bisa menenangkan dan kasih validasi terhadap apa yang kamu rasakan.
Tapi pertanyaannya: bisakah chatbot AI benar-benar menggantikan peran psikolog profesional?
Melansir dari Psychology Today, berikut adalah beberapa alasan mengapa chatbot AI tidak dapat menggantikan psikolog dalam merespons cerita atau keluhanmu:
1. Kekuatan Empati Sejati
Terapi yang efektif adalah sebuah hubungan yang hidup dan dinamis. Seorang terapis sungguhan bisa merasakan getaran dalam suara kamu, menangkap ekspresi sekilas, dan mencerminkan emosi kamu dengan cara yang membangun kepercayaan seiring berjalannya waktu.
AI dapat meniru bahasa yang penuh kasih sayang, tapi mereka tidak benar-benar memahami perasaanmu. Tanpa penyesuaian emosional yang sebenarnya, kamu berpotensi kehilangan feedback yang bisa bikin kamu merasa benar-benar diperhatikan dan dipahami. Empati manusia bukan sekadar algoritma, melainkan koneksi hati ke hati.
2. Perawatan Krisis dan Tanggung Jawab Etis
Ini adalah poin krusial. Terapis profesional memiliki kewajiban etis untuk peduli dan bertindak cepat ketika seseorang menunjukkan niat untuk menyakiti diri sendiri atau memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup. Mereka dapat segera merencanakan keselamatan atau bahkan melakukan intervensi darurat.
Ini beda banget sama chatbot AI yang nggak bisa mengidentifikasi risiko secara langsung atau memobilisasi bantuan dengan cara yang sama. Di saat bahaya mengancam, penilaian dan intervensi manusia jauh lebih akurat dan bertanggung jawab daripada chatbot AI.
3. Penilaian Klinis yang Akurat dan Bertanggung Jawab
Seorang terapis menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam pelatihan, mempelajari berbagai metode berbasis ilmu pengetahuan. Mereka bertanggung jawab penuh apabila terjadi kesalahan penanganan atau diagnosis.
Sebaliknya, AI nggak punya kredibilitas untuk mendiagnosis seseorang. Dalam hal kesehatan mental, merujuk kepada ahlinya jauh lebih baik daripada mengandalkan chatbot AI yang tidak memiliki dasar klinis atau tanggung jawab profesional.
4. Validasi yang Berlebihan (dan Kurang Efektif)
Salah satu "keunggulan" chatbot AI adalah kepositifan mereka yang tiada henti. Mereka cenderung memvalidasi setiap kekhawatiran dan menenangkan setiap ketakutanmu.
Padahal, terapi yang efektif bukan cuma tentang kenyamanan. Terapi sejati adalah tentang membimbing kamu menemukan cara untuk keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi, bahkan jika itu berarti mendengar umpan balik yang tidak selalu menyenangkan tetapi membangun. Validasi berlebihan dari AI justru bisa menghambat proses penyelesaian masalah yang esensif dalam terapi.
Jadi, meskipun chatbot AI bisa menjadi teman bicara yang tidak menghakimi untuk sesaat, ia belum bisa menggantikan empati dan keahlian dari seorang psikolog. Gunakan teknologi ini dengan bijak, jangan sampai curhat digital jadi satu-satunya jalan yang kamu andalkan. Karena kesehatan mental kamu tetap pantas ditangani oleh yang ahli.
(Himayatul Azizah)