Ragam
Kalimat Negatif dari Orang Tua Bisa Bentuk Anak Pemarah: Yuk, Ganti Gaya Bicara!
Tanpa sadar, kalimat negatif yang sering diucapkan orang tua bisa membentuk karakter anak jadi pemarah dan sensitif. Yuk, ubah cara berkomunikasi agar anak tumbuh dengan emosi yang sehat dan percaya diri.
Vania Rossa | Estika Kusumaningtyas

Dewiku.com - "Ah, dasar kamu malas!" atau "Mama capek gara-gara kamu!"—kalimat seperti ini mungkin terdengar biasa dan sering terucap saat orang tua sedang lelah atau emosi. Tapi tahukah kamu, kata-kata negatif yang terus-menerus dilontarkan ke anak bisa meninggalkan luka emosional yang dalam?
Tanpa disadari, pola komunikasi seperti ini bisa membentuk karakter anak jadi pemarah, defensif, atau bahkan menarik diri. Anak bukan hanya menyerap pesan, tapi juga energi di balik ucapan kita.
Baca Juga
Gaya Santai Tapi Tetap Kece? Lihat OOTD Zhao Lusi Pakai Baseball Cap!
Beda Tipis Tapi Nggak Sama: Ini Bedanya Open Relationship dan Friend with Benefit
Cewek High Value Nggak Perlu Ngejar! Ini 6 Cara Biar Kamu yang Dikejar
Soft Stan vs Hard Stan: Gaya Cewek Sayang ke Bias Bisa Beda-Beda, Tapi Sama Validnya!
Bukan Crazy Rich Biasa! Ini 7 Fakta Lucy Guo, Cewek 30 Tahun yang Jadi Miliarder Dunia
Ketika Raisa Nyanyi Lagu Satu Bulan: Soundtrack Patah Hati yang Nggak Marah, Cuma Tulus Melepas
Makanya, penting banget bagi orang tua untuk mulai menyadari gaya bicara sehari-hari dan menggantinya dengan komunikasi yang lebih suportif dan membangun.
Yuk, ganti gaya bicara demi masa depan anak yang tumbuh dalam kondisi mental tanpa memendam luka batin.
1. “Mama rela ngorbanin semua buat kamu”
Apa Mama pernah ngomong seperti itu? Mungkin benar udah banyak pengorbanan Mama buat anak. Tapi, kalimat ini cuma bikin anak tertekan secara emosional dan merasa ada hutang budi besar hingga hidup dengan rasa bersalah.
Dampaknya, ada trauma berlapis yang dirasakan anak hingga terbentuk fawning response di mana muncul keinginan untuk selalu menyenangkan orang lain demi rasa aman.
Sebaiknya, ganti dengan kalimat “Mama pilih jalan ini karena cinta, bukan karena terpaksa” agar anak bisa merasakan kasih sayang yang aman tanpa beban.
2. “Mama marah karena sayang”
Emosi berupa rasa marah memang lumrah, termasuk saat menghadapi anak. Namun, jangan pernah terucap kalau marah itu tanda sayang. Sayangnya, ucapan ini akan membuat anak mengasosiasikan cinta dengan rasa sakit.
Anak juga akan sulit membedakan antara kasih sayang dan manipulasi emosional. Pada akhirnya, memori emosi yang terluka akan terbawa sampai dewasa dan berpotensi membangun hubungan toksik.
Solusinya, ganti dengan “Mama memang kecewa tadi, tapi rasa sayang Mama nggak pernah hilang”. Kalimat ini jadi bukti emosi itu nyata tapi terpisah dari perasaan sayang.
3. “Nggak usah manja, kamu udah gede!”
Mama mungkin berharap anak yang semakin besar bisa lebih mandiri. Tapi kalimat ini justru membuat anak menekan kebutuhan afeksi akibat trauma emosional yang tersembunyi. Nantinya, dia akan sulit minta tolong dan merasa harus kuat terus.
Alih-alih melabeli manja, Mama bisa bilang “Kamu boleh sedih, kamu boleh butuh pelukan, meski kamu tumbuh besar”. Dari kalimat ini, anak akan merasa kalau kebutuhan afeksinya tetap bisa dipenuhi meski sudah semakin besar.
4. “Lihat tuh anak orang, pinter banget!”
Cukup banyak orang tua yang masih saja membandingkan anaknya dengan anak orang lain dan itu terucap lewat kata-kata. Padahal, kalimat semacam ini bakal bikin anak merasa tidak diterima dan terus membandingkan diri.
Nantinya, anak jadi bergantung pada validasi eksternal dan berisiko mengalami gangguan kecemasan sosial serta rendahnya motivasi intrinsik.
Ganti kalimat perbandingan ini dengan fokus pada pengakuan kelebihan anak disertai dukungan. Misalnya, lewat kalimat “Kamu punya kelebihanmu sendiri, kita cari tahu dan kembangkan sama-sama, yuk”.
5. “Kalau Mama nggak ada, baru tahu rasa!”
Cara ini masih jadi kalimat ancaman untuk mengontrol anak saat sulit diatur orang tua. Sayangnya, kalimat tersebut cuma akan menumbuhkan fear of abandonment atau rasa takut ditinggalkan hingga membentuk kecemasan dalam diri anak.
Koneksi otak pada bagian amigdala jadi lebih sensitif pada isyarat ancaman sosial dan bisa berdampak pada saat dia terjun di lingkungan sosial nantinya yang mudah merasa terancam.
Jadilah orang tua yang bijak dan sampaikan lewat kalimat positif saat ingin anak belajar sesuatu. Bisa dengan berkata “Mama ingin kamu belajar mandiri karena Mama sayang kamu”, bukan lewat ancaman.
Rasa benci yang tumbuh adalah hasil dari perlakuan yang ditanamkan sejak kecil lewat kata-kata negatif. Jadi, mengubah kalimat buat anak bakal jadi langkah antisipasi dini demi mencegah tumbuhnya akar kebencian yang dalam pada orang tua, terutama sosok Ibu.