Ragam

Ketika Kamu Jatuh Cinta pada Angan, Bukan Pasangan: Waspada Pacaran Sama Imajinasi!

Pernah merasa jatuh cinta, tapi ternyata bukan pada sosok nyata di depan mata, melainkan pada versi ideal di kepala? Hati-hati, jangan sampai terjebak mencintai angan, bukan pasangan sejati.

Vania Rossa

Ilustrasi pasangan. (Unsplash/Felix jr Serrano)
Ilustrasi pasangan. (Unsplash/Felix jr Serrano)

Dewiku.com - Cinta memang misterius. Tanpa sadar, banyak dari kita — terutama perempuan — yang sebenarnya tidak jatuh cinta pada siapa pasangan kita sekarang, melainkan pada versi sempurna yang hanya hidup di angan.

Kita mencintai bayangan tentang siapa mereka bisa jadi, bukan siapa mereka saat ini.

Pola ini kerap terasa mulia — seolah memberi kesempatan pasangan untuk "berkembang" — padahal di baliknya tersimpan jebakan frustrasi dan kekecewaan.

Karena pada akhirnya, yang kita peluk bukan realita, tapi harapan semu yang mungkin takkan pernah terwujud.

Antara Harapan dan Kenyataan

Cinta sering kali menjadi medan tarik-menarik antara harapan dan kenyataan, di mana banyak perempuan mendapati diri mereka jatuh cinta bukan pada siapa pasangan mereka saat ini.

Fenomena ini, meskipun umum, sering kali tidak disadari. Kita menganggapnya cinta, padahal yang sedang terjadi adalah keterikatan emosional pada potensi, bukan pada pribadi yang nyata.

Dan dalam mencintai potensi, walau terdengar mulia, pada kenyataannya bisa menjadi jalan lurus menuju frustasi, kebingungan, dan patah hati.

Melansir Psychology Today, hal ini bukan sesuatu yang aneh. Manusia memang mudah terpikat oleh versi ideal seseorang yang dibangun sendiri berdasarkan harapan, impian, dan kebutuhan batin.

“Terkadang, cinta seperti ini lebih tentang kebutuhan kita sendiri akan perubahan, harapan, atau penyelamatan,” ujar psikolog klinis Suzanne Lachmann.

Dalam cinta seperti ini, kita lebih banyak bercakap dengan imajinasi kita sendiri dibandingkan melakukan berkomunikasi dengan pasangan yang sebenarnya.

Kita tidak benar-benar melihat siapa mereka hari ini dengan kebiasaan, nilai, dan kelemahan yang mereka miliki.

Kita terlalu fokus pada siapa mereka yang ada di bayangan kita, seperti jika mereka berubah, jika mereka berusaha, jika mereka memenuhi ekspektasi yang kita tanamkan secara diam-diam.

Keluhan yang sering terdengar dari perempuan yang terlalu cepat dan terlalu dalam mencintai, biasanya bermuara pada satu hal: “Aku pikir dia akan berubah.”

Tapi kenyataannya, kita tidak mencintai dia sebagaimana adanya.

Kita jatuh cinta pada narasi yang kita ciptakan tentangnya. Dan ketika versi ideal itu tidak kunjung muncul, kecewa pun menjadi keniscayaan.

Toleransi yang Tidak Sehat

Hubungan yang dibangun atas dasar potensi sering kali diwarnai dengan toleransi yang tidak sehat, kita mentoleransi red flags, memaklumi perlakuan yang menyakitkan, lalu menyebutnya kesabaran.

Kita bukan sedang mencintai seseorang, namun sedang mengerjakan sebuah proyek. Padahal, cinta bukan laboratorium, dan pasangan bukan bahan percobaan.

Cinta yang sehat bukan tentang menyelamatkan atau membentuk seseorang seperti tanah liat, tapi tentang menerima dan menyayangi apa adanya.

Maka dari itu, ketika Anda jatuh cinta, tanya dirimu sendiri dengan jujur: "Apakah aku mencintai dia atau mencintai versi masa depannya yang belum tentu pernah ada?" dan "Apakah aku sedang melihat orang ini dengan mata yang jernih, atau melalui lensa harapan yang kabur?"

Karena mencintai seseorang apa adanya dengan semua ketidaksempurnaan, keterbatasan, dan luka masa lalunya adalah bentuk cinta yang paling tulus.

Dan jika yang kalian cintai adalah versinya yang belum jadi, maka cinta itu belum sepenuhnya nyata.

(Mauri Pertiwi)

Berita Terkait

Berita Terkini