Ragam

Kecanduan Produktif: Ketika Perempuan Zaman Now Takut Libur, Takut Nggak Berguna

Kenapa perempuan zaman now takut santai? Kecanduan produktif bikin libur terasa dosa dan diam seolah nggak berguna. Sebuah realita generasi ambis!

Vania Rossa

Ilustrasi perempuan sibuk. (Freepik)
Ilustrasi perempuan sibuk. (Freepik)

Dewiku.com - Libur? Santai? Rebahan tanpa rasa bersalah? Mungkin itu sudah jadi kemewahan langka bagi sebagian besar perempuan zaman now. Di tengah gempuran budaya hustle dan to-do list yang tak berujung, muncul fenomena unik: kecanduan produktif.

Rasanya ada yang kurang kalau sehari saja nggak sibuk — entah belajar, kerja sampingan, ikut workshop, atau sekadar update konten soal self improvement.

Diam sejenak malah bikin gelisah, takut dibilang ‘nggak berguna’, takut ketinggalan, atau lebih parah: takut nggak diakui.

Kapan terakhir kali kamu benar-benar libur tanpa mikir, "Habis ini harus ngapain, ya?"

Fenomena Diam-Diam yang Menggerogoti Banyak Perempuan

Ya, saat ini, banyak perempuan yang tengah mengalami kecanduan produktivitas.

Dalam budaya yang mengagungkan kesibukan sebagai lambang keberhasilan, perempuan kerap terjebak dalam siklus tidak berujung bekerja keras untuk membuktikan diri, lalu merasa bersalah saat mencoba berhenti.

Masyarakat sering kali memuji mereka yang selalu tak kenal lelah, dan seakan bisa melakukan semuanya.

Tapi apa jadinya ketika sibuk bukan lagi sebuah pilihan, melainkan identitas?

Dr. Sandra Chapman, pendiri Center for BrainHealth di University of Texas, menjelaskan bahwa otak manusia bisa kecanduan pada produktivitas layaknya kecanduan terhadap zat adiktif.

Kita merasa euforia kecil saat mencoret tugas dari daftar, tapi lama-kelamaan, kita butuh “pencapaian” yang lebih besar untuk merasa cukup.

Masalahnya, semakin banyak kita capai, semakin tinggi pula ekspektasi yang kita tetapkan untuk diri sendiri.

Hasilnya? Kelelahan mental, burnout, rasa hampa yang sulit dijelaskan, bahkan kehilangan koneksi dengan diri sendiri.

Tekanan terhadap perempuan jauh lebih kompleks, bukan hanya dituntut sukses dalam karier, tapi juga menjadi ibu yang ideal, pasangan yang suportif, sahabat yang selalu hadir, dan individu yang selalu kuat.

Perempuan dibentuk untuk percaya bahwa nilai diri mereka datang dari pencapaian konstan.

“Perempuan dibentuk untuk percaya bahwa nilai diri mereka datang dari pencapaian konstan,” ujar Jennifer Romolini dalam wawancaranya bersama The Guardian.

Ia juga menambahkan bahwa ambisi sering kali menjadi topeng dari luka batin dan rasa tidak aman usaha untuk merasa cukup di mata dunia, atau bahkan di mata sendiri.

Kondisi ini kerap berjalan berdampingan dengan impostor syndrome, perasaan bahwa diri tidak cukup baik meski bukti menunjukkan sebaliknya.

Sulitnya Menikmati Waktu Luang

Sebuah studi dari Cornell University menemukan bahwa lebih dari 50% perempuan profesional di industri teknologi mengalami fenomena ini, yang kemudian memicu kecemasan, depresi, hingga motivasi yang digerakkan oleh rasa takut, bukan inspirasi.

Selain itu, orang yang mengalami workaholism juga cenderung sulit menikmati waktu luang. Mereka merasa bersalah saat tidak produktif, seolah kehilangan arah tanpa kesibukan.

Padahal, diam dan jeda bukan kemunduran melainkan bagian penting dari kehidupan yang sehat.

Dan melepaskan identitas sebagai ‘si super sibuk’ bukan berarti kita menyerah.

Justru itu adalah bentuk keberanian, berani mengakui bahwa kita berharga bukan karena seberapa banyak yang kita capai, tapi karena siapa kita, bahkan saat tidak melakukan apa-apa.

Langkah awalnya bisa sesederhana istirahat tanpa rasa bersalah, menolak pekerjaan tambahan tanpa penjelasan panjang, atau berkata pada diri sendiri “Hari ini sudah cukup. Mari sudahi. Ayo beristirahat.”

Karena pada akhirnya, produktivitas bukanlah identitas. Ia hanyalah alat dan kita para perempuan, pantas dikenal bukan karena betapa sibuknya kita, melainkan karena betapa utuh dan sadar kita menjalani hidup ini.

(Mauri Pertiwi)

Berita Terkait

Berita Terkini