Ragam
Nyinyir Bukan Candaan! Ini Dampak Serius Kekerasan Verbal ke Perempuan di Media Sosial
Di balik candaan nyinyir dan komentar sarkas, ada luka yang nyata. Yuk pahami dampak kekerasan verbal pada perempuan di media sosial, dan kenapa kita semua harus peduli!
Vania Rossa

Dewiku.com - Di era digital seperti sekarang, siapa sih yang nggak aktif di media sosial? Dari update story sampai debat isu terkini, semuanya bisa dilakukan lewat ponsel dalam genggaman. Dunia maya menawarkan ruang luas untuk berekspresi, berkarier, bahkan menemukan komunitas yang satu frekuensi. Tapi sayangnya, ruang ini belum sepenuhnya aman, terutama bagi perempuan.
Salah satu ancaman yang sering diremehkan tapi efeknya nyata adalah kekerasan verbal berbasis gender. Bukan cuma soal “dinyinyirin”, tapi bisa berupa komentar seksis, body shaming, pelecehan lisan, hingga meremehkan pendapat hanya karena kamu perempuan. Yang bikin miris, bentuknya kadang samar: dibungkus sarkasme, candaan, atau embel-embel “jangan baper ah”.
Baca Juga
Cewek Nggak Wajib Menikah Umur 30! Ini Kata Yuki Kato yang Bisa Jadi Pegangan Hati Kamu
Tren Manifesting: Cara Halus Cewek Gen Z Ngatur Semesta Biar Nurut
Dibilang Hebat, Tapi Malah Nolak? Itu Bukan Rendah Hati, Tapi Imposter Syndrome
Film dan Series Netflix yang Bikin Cewek Mikir, Nangis, Terinspirasi: Pokoknya Harus Nonton!
Solo Dating: Tren Baru Cewek Kota Jalan Sendiri ke Kafe, Bioskop, dan Staycation, Berani Coba?
Nggak Ribut, Nggak Pamer, Tapi Tetap Menarik! 6 Ciri Quiet Confidence yang Jarang Disadari
Padahal, dampaknya nggak bisa dianggap enteng. Banyak perempuan yang jadi korban akhirnya merasa cemas, stres, dan kehilangan kepercayaan diri. Beberapa bahkan memilih ‘menghilang’ dari media sosial karena nggak kuat menanggung komentar negatif yang terus berdatangan.
Contohnya pernah disuarakan oleh Gita Savitri Devi, influencer dan aktivis perempuan. Dalam salah satu unggahannya, ia menyayangkan betapa seringnya perempuan diserang hanya karena berani bersuara.
“Banyak perempuan merasa bersalah hanya karena menjadi diri sendiri,” tulis Gita.
Padahal, media sosial seharusnya jadi tempat yang aman dan setara untuk semua.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Rani Pramesti, aktivis digital dan penggagas kampanye #BersamaBicara.
“Komentar merendahkan itu bukan hal biasa. Itu bentuk kekerasan yang harus dilawan,” tegasnya.
Menurut Rani, sudah saatnya kita menciptakan budaya baru—di mana perempuan bisa bebas bersuara tanpa takut diintimidasi.
Tentu saja, tanggung jawab ini bukan cuma di pundak perempuan. Platform media sosial juga harus turun tangan. Akun-akun penyebar kebencian harus ditindak tegas, bukan malah dibiarkan viral. Edukasi digital juga penting—agar orang makin paham batasan, tahu cara berkomentar yang sehat, dan belajar empati di ruang maya.
Kita sebagai pengguna internet juga punya peran. Mulai dari tidak ikut menyebarkan komentar jahat, mendukung korban, sampai berpikir sebelum ngetik sesuatu yang bisa menyakiti orang lain. Sekecil apa pun, langkah itu bisa membawa perubahan.
Karena pada akhirnya, setiap orang—terutama perempuan—berhak merasa aman dan dihargai, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Jadi, yuk stop anggap kekerasan verbal sebagai hal sepele. Ini bukan cuma soal "baper", tapi soal hak setiap orang untuk didengar dan dihormati.
(Imelda Rosalina)