Ragam

Jangan Selalu Jadi Orang Baik! 8 Situasi yang Butuh Kamu Pasang Batas

Jangan selalu jadi orang baik! Menurut psikologi, ada 8 situasi penting di mana kamu harus berani pasang batas, bilang tidak, dan pilih diri sendiri demi kesehatan mental.

Vania Rossa

Ilustrasi orang yang terlalu baik (Freepik)
Ilustrasi orang yang terlalu baik (Freepik)

Dewiku.com - Dari kecil kita sering diajarin buat selalu jadi anak yang baik, misalnya mengalah, selalu tersenyum, dan nggak bikin ribut. Tapi, ternyata jadi terlalu baik juga ada bahayanya, lho. Alih-alih bikin damai, kadang itu malah bikin kita capek sendiri dan ngajarin orang lain buat ngeabaikan kebutuhan kita.

Dalam psikologi, ini disebut self-silencing, alias kebiasaan meredam diri demi jaga suasana. Di luar kelihatan sopan, tapi di dalam hati bisa bikin kesal, capek, bahkan hilang kendali atas hidup sendiri.

Nah, jadi baik itu penting, tapi jangan sampai jadi “baik palsu”. Karena kebaikan yang sehat selalu selaras sama kebenaran. Berikut delapan situasi di mana kamu sah-sah aja buat nggak terlalu baik, justru demi jaga kesehatan mental dan dihargai orang lain.

1. Saat Bilang “Ya” Bikin Kamu Nggak Setuju Sama Diri Sendiri
Kalau hati bilang “nggak”, tapi mulut bilang “iya”, ujung-ujungnya cuma bikin kesel. Lama-lama kamu bisa merasa harga dirimu lebih rendah dari orang lain.

Tips: coba tarik napas dulu sebelum jawab. Katakan aja, “Aku cek dulu ya, nanti aku kabari.” Itu kasih ruang buat mikir: beneran mau, atau cuma takut ditolak?

2. Saat Lagi Negosiasi Gaji, Proyek, atau Tarif
Negosiasi itu bukan soal basa-basi manis, tapi soal kejelasan. Kalau kamu selalu ngasih “bonus kecil” tanpa syarat, orang bakal nganggep itu standar.

Tips: ngomong jelas aja, “Aku bisa kerjain A dalam deadline segini. Kalau mau B juga, kita perlu adjust waktu atau tarifnya.” Tegas itu bukan berarti galak.

3. Saat Masukan Jujur Bisa Bikin Orang Lebih Baik
Kadang kita milih bohong putih biar aman, padahal itu bikin orang stuck. Feedback jujur, kalau disampaikan dengan respect, justru bentuk kebaikan yang sesungguhnya.

Tips: pakai rumus SBI (Situation, Behavior, Impact). Contoh: “Di meeting kemarin (situasi), kamu nyela dua kali (perilaku), jadi diskusinya ke-distract (dampak).” Tambahin solusi, jangan muter-muter.

4. Saat Batas Kamu Dilanggar Lagi dan Lagi
Sekali dua kali mungkin masih wajar. Tapi kalau udah jadi pola, diam aja cuma bikin orang makin seenaknya.

Tips: tegas tanpa drama. Misalnya, “Aku nggak jawab chat kerja setelah jam 7 malam. Kalau ada, aku balas besok.” Jangan minta maaf, itu hakmu.

5. Saat Ada Manipulasi Rasa Bersalah atau Urgensi Palsu
Ucapan kayak “Kalau kamu peduli, kamu pasti mau bantu” itu bukan sayang, tapi manipulasi.

Tips: jangan buru-buru ambil keputusan. Cukup bilang, “Aku butuh waktu buat pikir dulu.” Simple, tapi bikin kamu nggak kejebak “umpan emosional.”

6. Saat Dihadapkan Sama Disrespect, Gosip, atau Diskriminasi
Diam aja kadang sama aja kayak setuju. Memang nggak semua orang nyaman konfrontasi, tapi speak up bikin kamu dihargai.

Tips: nggak perlu panjang-panjang. Bisa cukup bilang, “Eh, fokus ke kerjaan aja yuk,” atau “Itu nggak pantas.”

7. Saat Kesehatanmu Jadi Korban
Kalau “baik” bikin kamu drop fisik atau mental, itu tandanya udah kebablasan.

Tips: notice sinyal tubuhmu. Kalau stres atau sakit makin parah karena selalu ngalah, saatnya stop. Ingat, jaga tubuh = jaga masa depan.

8. Saat Harus Mengakhiri Sesuatu
Mau itu kerjaan, komitmen, atau hubungan, kadang kita tahan demi nggak keliatan jahat. Padahal, jelas dan tegas itu jauh lebih sehat daripada ngegantungin orang.

Tips: pakai rumus simpel: apresiasi + keputusan + langkah ke depan. Misalnya, “Aku hargai banget kerjasamanya, tapi aku memutuskan untuk lanjut ke arah lain. Jadi hari terakhirku tanggal 30.” Beres.

Meski jadi baik itu bagus, tapi jangan sampai jadi jebakan yang bikin kamu selalu ngalah. Ingat, kebaikan sejati datang dari kejujuran, bukan sekadar bikin orang nyaman. Kalau kamu sering merasa kesel, lelah, atau nyesel setelah bilang “iya,” itu alarm buat belajar bilang “tidak.”

Mulai dari hal kecil dulu. Satu “nggak” hari ini bisa jadi pintu buat “iya” yang lebih tulus dan otentik di kemudian hari.

(Clarencia Gita Jelita Nazara)

Berita Terkait

Berita Terkini