Ragam
Sorotan Publik Panas! Sri Mulyani Hadapi Tantangan Kepercayaan di Tengah Krisis
Sri Mulyani jadi sorotan publik setelah rumahnya dijarah dan kritik soal gaji tenaga pendidik muncul. Bagaimana ia menghadapi tantangan kepercayaan di tengah krisis ini?
Vania Rossa | Natasya Regina Melati

Dewiku.com - Kabar soal aksi demo besar yang berujung ricuh belakangan ini memang masih terus jadi sorotan publik. Salah satu dampak yang mencuri perhatian adalah rumah Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, ikut dijarah massa pada Minggu (31/8) dini hari. Peristiwa ini pun langsung menuai simpati luas dari masyarakat.
Lewat unggahan di akun Instagram pribadinya, Sri Mulyani mengucapkan terima kasih atas doa dan dukungan yang mengalir untuknya. Ia menegaskan pentingnya menjaga etika serta moralitas dalam kehidupan politik, alih-alih melampiaskan kekecewaan dengan tindakan anarki.
"Saya memahami membangun Indonesia adalah sebuah perjuangan yang tidak mudah, terjal, dan sering berbahaya," kata Sri Mulyani dalam postingannya di Instagram.
"Para pendahulu kita, telah melalui itu. Politik adalah perjuangan bersama untuk tujuan mulia kolektif bangsa, tetap dengan etika dan moralitas yang luhur," katanya menambahkan.
Menurutnya, membangun Indonesia memang bukan perkara mudah, tapi perjuangan itu seharusnya dilakukan dengan cara yang beradab.
"Bukan ranah atau selera pribadi. UU disusun melibatkan Pemerintah, DPR, DPD, dan Partisipasi Masyarakat secara terbuka dan transparan," katanya.
Sri Mulyani juga mengingatkan bahwa setiap pejabat negara sudah bersumpah bekerja sesuai UUD 1945 dan aturan hukum yang berlaku.
"Bila Pelaksanaan UU menyimpang dapat membawa perkara ke Pengadilan hingga ke Mahkamah Agung. Itu sistem demokrasi Indonesia yang beradab. Pasti belum dan tidak sempurna. Tugas kita terus memperbaiki kualitas demokrasi dengan beradab tidak dengan anarki, intimidasi serta represi," ujarnya.
Semua kebijakan, termasuk yang sering menuai kritik, bukanlah hasil selera pribadi melainkan melalui proses panjang yang melibatkan pemerintah, DPR, DPD, hingga masyarakat. Jika ada pihak yang merasa dirugikan, jalur hukum seperti judicial review atau gugatan di pengadilan adalah mekanisme sah yang bisa ditempuh.
Di sisi lain, pernyataan Sri Mulyani ini muncul tak lama setelah pidatonya tentang gaji guru dan dosen yang ramai diperdebatkan di media sosial.
Baca Juga
Viral Nilai Ijazah Sahroni yang Pas-Pasan, Bukti Nilai Akademis Bukan Syarat Sukses di Politik?
Aksi Massa Bikin Rumahnya Berantakan, Sri Mulyani Pilih Respons Tenang dan Janji Berbenah
Tetap Tenang di Tengah Aksi: Tips Hadapi Demo yang Sarat Provokasi
Fenomena Tradwife di Media Sosial, Pilihan Hidup atau Sekadar Konten?
Rahasia di Balik Ibu Cerewet: Bikin Anak Jadi Lebih Tahan Banting dan Sukses
Ricuh Demo, TikTok Blokir Fitur Live: Perlindungan atau Membungkam Suara Publik?
Kala itu, ia menyebut rendahnya gaji tenaga pengajar menjadi salah satu tantangan besar bagi keuangan negara. Ia bahkan mempertanyakan apakah semua harus ditanggung negara, atau ada ruang partisipasi masyarakat dalam mendukung kesejahteraan tenaga pendidik.
“Banyak di media sosial, saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya enggak besar. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara,” kata Sri Mulyani.
“Apakah semuanya harus dari keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat?” lanjutnya.
Pernyataan tersebut justru memicu pro-kontra di kalangan publik. Banyak yang menilai ucapannya kurang sensitif mengingat guru dan dosen selama ini dianggap sebagai pilar penting pendidikan bangsa.
Kini, di tengah isu rumahnya dijarah, publik semakin ramai mempertanyakan etika komunikasi seorang pejabat negara—apakah ia sedang menghadapi krisis kepercayaan, dan bagaimana seharusnya cara menyampaikan pesan agar tidak menyinggung masyarakat yang sudah lelah dengan situasi sulit?
Konsekuensi dari Krisis Kepercayaan Publik
Krisis kepercayaan publik bukan hal yang bisa dianggap sepele. Begitu masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah maupun institusi, dampaknya bisa berantai dan panjang. Nah, berikut ini beberapa konsekuensi yang biasanya muncul:
1. Menurunnya Partisipasi dan Dukungan
Kalau publik sudah merasa dikhianati, jangan harap program atau kebijakan yang dibuat akan mendapat sambutan hangat. Masyarakat akan cenderung pasif bahkan enggan terlibat, karena merasa apa pun yang dilakukan tidak akan memberi manfaat nyata bagi mereka.
2. Ketidakpatuhan dan Penolakan Kebijakan
Kebijakan yang dinilai tidak pro-rakyat, misalnya soal kenaikan harga kebutuhan atau pemotongan subsidi, makin sulit diterima. Tak jarang, kondisi ini justru memicu aksi penolakan atau protes dari masyarakat.
3. Rusaknya Reputasi dan Kredibilitas
Kepercayaan yang sudah hilang sangat sulit untuk dikembalikan. Reputasi pemerintah maupun institusi bisa tercoreng dalam jangka panjang, sehingga kredibilitasnya pun melemah di mata masyarakat maupun pihak lain yang berkepentingan.
4. Respons yang Lambat dan Tidak Koordinatif
Institusi yang tidak lagi dipercaya biasanya kesulitan menunjukkan kepemimpinan yang solid. Alhasil, saat terjadi krisis, respons yang diberikan bisa terasa lambat, tidak terkoordinasi, bahkan memperburuk keadaan yang ada.
Etika Komunikasi Seorang Pejabat
Selain soal krisis kepercayaan, ada hal lain yang nggak kalah penting diperhatikan, terutama oleh pejabat publik: cara berkomunikasi. Pidato seorang menteri misalnya, bisa jadi sorotan besar. Karena itu ada beberapa prinsip etika yang sebaiknya dijaga agar tidak menyinggung pihak mana pun:
1. Bertanggung Jawab atas Dampak Pidato
Setiap kata punya konsekuensi. Menteri harus sadar bahwa ucapannya bisa berpengaruh besar, baik jangka pendek maupun panjang. Jadi penting untuk menghindari kalimat yang bisa memicu reaksi negatif.
2. Memahami Audiens
Mengetahui siapa yang sedang diajak bicara membantu menyesuaikan gaya bahasa dan isi pidato. Dengan begitu, pesan jadi lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan salah paham.
3. Gunakan Bahasa yang Sopan dan Menghormati
Kata-kata kasar, merendahkan, atau provokatif jelas harus dihindari. Sebaliknya, pilih bahasa yang sopan, profesional, dan membangun.
4. Sampaikan Pesan dengan Jelas dan Relevan
Isi pidato sebaiknya padat, jelas, dan sesuai tujuan. Hindari ambiguitas agar tidak menimbulkan interpretasi berbeda yang bisa menyesatkan.
5. Jaga Penampilan dan Sikap Profesional
Bukan hanya kata-kata, penampilan yang rapi dan sikap profesional juga ikut mendukung citra positif seorang pejabat publik saat berpidato.
6. Fokus pada Tujuan Bersama
Pidato sebaiknya diarahkan untuk tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Intinya, krisis kepercayaan publik bisa jadi bom waktu yang berbahaya kalau dibiarkan. Tapi, menjaga komunikasi yang baik, sopan, dan penuh tanggung jawab setidaknya bisa jadi langkah awal untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat.