Ragam

Istilah Nonaktif Tidak Ada di UU MD3: Sahroni, Nafa Urbach, dan Lainnya Bukan Dipecat

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) kembali menyoroti polemik penggunaan istilah nonaktif anggota DPR yang sedang ramai.

Vania Rossa

Anggota DPR yang
Anggota DPR yang "dinonaktifkan". (Instagram)

Dewiku.com - Belakangan ini, istilah “nonaktif” jadi trending di dunia politik. Gara-gara sejumlah anggota DPR yang dinilai memantik keresahan masyarakat dengan kata-kata blundernya dinonaktifkan oleh partainya masing-masing. Di antaranya Sahroni, Nafa Urbach, hingga Uya Kuya dan Eko Patrio.

Tapi tunggu dulu—menurut Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), istilah itu sebenarnya nggak ada di kamus UU MD3 alias cuma istilah ‘palsu’ yang bikin publik tambah bingung.

Formappi bilang, aturan resmi dalam UU MD3 cuma mengenal dua status: pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap.

Keduanya punya prosedur jelas, misalnya kalau anggota dewan jadi tersangka kasus pidana dengan ancaman hukuman minimal lima tahun.

Jadi kalau ada yang tiba-tiba “dinonaktifkan”, ya sebenarnya itu cuma jargon politik, bukan sanksi sah menurut undang-undang.

Nah, istilah nonaktif ini mencuat gara-gara beberapa nama beken seperti Sahroni, Uya Kuya, sampai Nafa Urbach disebut-sebut kena status itu. Publik pun dibuat bertanya-tanya: ini beneran diberhentikan sesuai aturan, atau sekadar sanksi internal partai yang sifatnya setengah hati?

Formappi menilai langkah ini bisa bikin citra DPR makin buram. Dari luar seolah-olah ada sanksi tegas, padahal sebenarnya nggak ada tindakan resmi. Standar ganda, much?

Masalahnya, kalau dibiarkan, publik bisa jadi makin skeptis. DPR terlihat kayak main istilah buat jaga muka, tapi lupa sama hal paling penting: transparansi dan kepatuhan hukum.

Formappi pun mendesak DPR untuk berhenti main kata-kata manis yang nggak ada dasar hukumnya. Kalau memang ada anggota yang harus diberhentikan sementara, ikuti mekanisme UU MD3. Jangan bikin istilah “nonaktif” yang cuma bikin publik mikir: ini beneran sanksi, atau sekadar gimmick politik?

Soalnya, semakin lama DPR ngotot pakai istilah itu, makin jelas juga kesannya: bukan menjaga integritas, tapi lebih sibuk menjaga kepentingan politik.

(Clarencia Gita Jelita Nazara)

Berita Terkait

Berita Terkini